Karya Ilmiah

Perbedaan Bank Syariah Dan Bank Konvensional

Mendengar kata bank syariah dan bank konvensional tentu sudah tidak asing lagi saat ini. Keduanya merupakan institusi keuangan yang melayani kebutuhan perbankan masyarakat Indonesia. Namun, apakah kamu tahu perbedaan keduanya? Nah, berikut beberapa perbedaan bank syariah dan bank konvensional dari beberapa aspek.

Di dalam Islam, masalah perbankan tidak diatur dalam nash secara tegas dan jelas, sehingga merupakan masalah ijtihadiyah dan terdapat kontroversial dalam kepastian hukumnya. Kontroversial ini terjadi karena sistem yang dianut perbankan konvensional menggunakan sistem bunga (interest foregone).

Secara singkat Bank konvensional menggunakan prinsip konvensional dengan acuan peraturan nasional dan internasional berdasarkan hukum berlaku. Sementara, prinsip bank syariah berdasarkan hukum Islam mengacu dari Al-quran dan Hadist serta diatur oleh fatwa Ulama. Sehingga seluruh aktivitas keuangannya menganut prinsip Islami. Oke disini aku akan menjelaskan secara singkat mengenai Bank konvensional dan Bank syariah .

 

  1. Bank Syariah

Secara umum bank Syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip Syariah. Bank Syariah merupakan bank yang dalam pengoprasian dan sistem keuangannya disesuaikan dengan prinsip Islam. Bank Syariah melakukan kegiatan usaha berdasarkan bagi hasil. Dalam melakukan kegiatan usaha tersebut diberikan kebebasan untuk mengembangkan produk penghimpunan dana serta pelayanan jasa perbankan Syariah.

Dilihat dari perkembangannya peranan ulama sangat penting dalam mengembangkan perbankan syariah di Indonesia, itu artinya aspirasi pendirian bank Islam diprakarsai oleh aspirasi dari rakyat, bukan dari pemerintah, sehingga sangat wajar sampai sekarang MUI merupakan lembaga yang tetap mengawal bagi perkembangan perbankan syariah di tanah air, dengan melibatkan diri secara langsung dalam menetapkan kebijakan perbankan syariah.

 

  1. Kontrak/Akad dalam Bank Syariah

Kata akad berasal dari Bahasa Arab yang berarti mengikat, menetapkan, membangun. Kata akad berarti juga perikatan atau janji. Kata akad sudah diserap dalam Bahasa Indonesia yang berarti janji, perjanjian, dan kontrak. Akad merupakan kesepakatan kedua belah pihak yang mewajibkan keduanya melaksanakan apa yang telah disepakati. Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa akad merupakan kegiatan dari dua belah pihak untuk maksud tertentu. Wahbah al-Zuhayly menjelaskan bahwa akad adalah mengikat antara beberapa ujung sesuatu, baik berupa ikatan secara nyata maupun secara abstrak (maknawi), dari satu pihak maupun dua pihak. [1]

Adapun beberapa bentuk akad yang ada didalam bank Syariah diantaranya yaitu:

  1. Mudharabah

Adapun istilah mudharabah atau qiradh dikemukakan oleh para ulama dengan redaksi yang berbeda-beda, Adapun uraiannya adalah, menurut mayoritas fukaha, mudharabah ialah:”Akad antara 2 pihak yang saling menanggung, salah satu pihak menyerahkan hertanya kepada pihak lain untuk diperdagangkan dengan bagian yang telah ditentukan dari keuntungan seperti setengah atau sepertiga dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.”. Menurut ulama Hanafiyah akad mudharabah adalah “Akad perkongsian dalam hal keuntungan, satu pihak sebagai pemilik harta (modal) dan pihak yang lain pemilik jasa. Menurut ulama Malikiyah akad mudharabah adalah “Akad perwakilan, dimana pemilik harta mengeluarkan hartanya kepada yang lain untuk diperdagangkan dengan pembayaran yang ditentukan (emas dan perak). Menurut ulama Syafi’I akad mudharabah ialah”Akad yang menentukan seseorang menyerahkan hartanya kepada pihak lain untuk diperdagangkan dan keduanya mendapatkan bagian dari keuntungan bedasarkan kesepakatan”. Menurut ulama Hanabilah akad mudharabah ialah”Ibarat pemilik harta menyerahkan hartanya dengan ukuran tertentu kepada yang berdagang bagian dari keuntungan yang diketahui”. Menurut Komplikasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Mudharabah adalah kerja sama antara pemilik dana atau penanam modal dan pengelola modal untuk melakukan usaha tertentu dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah. Berdasarkan uraian dari para ulama di atas, dapat disimpulkan bahwa akad mudharabah adalah akad kerja sama usaha di antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola.[2]

  1. Murabahah

Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang sudah disepakati. Karakteristik murabahah adalah bahwa penjual harus memberi tahu pembeli mengenai harga pembelian produk dan menyatakan jumlah keuntungan yang ditambahkan pada biaya (cost) tersebut. Murabahah ini merupakan produk pembiayaan dimana pihak bank dapat sebagai mediasi anatara pihak yang berkepentingan, yaitu nasabah dan developer atau pemasok, maksudnya dalam hal ini adalah apabila nasabah menginginkan memiliki atau membeli sesuatu barang dari developer sementara nasabah belum memiliki dana yang cukup untuk dapat membelinya, maka bank dalam hal ini memberikan bantuan berupa pembiayaan dengan cara membeli barang yang diinginkan oleh nasabah terlebih dahulu dari developer, kemudian pihak bank menjual Kembali barang tersebut kepada nasabah dengan harga sesuai dengan pembelian pihak bank dari pihak developer dengan metode angsuran dan ditambah keuntungan bagi pihak bank yang telah disepakati antara pihak bank dan pihak nasabah sebelum transaksi jual-beli dilakukan. Keunggulan pembiayaan dari produk murabahah adalah bahwa nasabah dapat membeli sesuatu barang sesuai dengan keinginan, dan kemampuan ekonominya, di samping itu pembiayaan dilakukan dengan angsuran sehingga tidak memberatkan pihak nasabah itu sendiri Adapun keungglan yang lain adalah bahwa dalam produk murabahah tidak mengenal riba atau sistem bunga tetapi dalam hal ini adanya keterbukaan antara pihak bank dan nasabah bahwa bank sebelumnya memberikan informasi atas barang yang akan dibeli sesuai dengan keinginan nasabah dan harga yang telah ditentukan oleh developer telah diketahui oleh pihak nasabah, kemudian pihak bank menjual Kembali kepada nasabah sesuai dengan harga pembelian dari pihak developer, dan ditambah keuntungan bagi pihak bank. Tambahan keuntungan bagi pihak bank ini, diperjanjikan diawal transaksi yang didasarkan atas kesepakatan Bersama antara pihak bank dengan nasabah, jadi dalam hal ini tidak terjadi unsur saling mendzalimi. [3]

  1. Musyarakah

Musyarakah yaitu pembiayaan Sebagian kebutuhan modal pada suatu usaha untuk jangka waktu terbatas sesuai kesepakatan. Hasil usaha bersih dibagi antara bank sebagai penyandang dana dengan pengelola usaha (mudharib) sesuai dengan kesepakatan. Umumnya, porsi bagi hasil ditetapkan sesuai dengan presentasi kontribusi masing-masing. Pada akhir jangka waktu pembiayaan, dana pembiayaan dikembalikan kepada bank. Fatwa DSN No 08/DSN-MUI/IV/2000 yang mengatur tentang pembiayaan Musyarakah. [4]

  1. Istishna

Istishna adalah akad jual beli dimana produsen ditugaskan untuk membuat suatu barang pesanan dari pemesanan. Istishna adalah akad jual beli atas dasar pesanan antar nasabah dan bank dengan spesifikasi tertentu yang diminta oleh nasabah. Bank akan meminta produsen untuk membuatkan barang pesanan sesuai dengan permintaan nasabah. Setelah selesai nasabah akan membeli barang tersebut dari bank dengan harga yang telah disepakati Bersama. Al-Istishna, adalah akad jual beli pesanan antara pihak produsen/pengrajin/penerima pesanan dengan pemesanan untuk membuat suatu produk barang dengan spesifikasi tertentu dimana bahan baku dan biaya produksi menjadi tanggung jawab pihak produsen sedangkan sistem pembayaran bisa dilakukan di muka, tengah atau akhir. [5]

  1. Wadiah

Wadiah secara etimologi adalah wada’a yang berarti meninggalkan/meletakan atau titipan. Secara terminology, wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak yang lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendakinya. Dalam mendefinisikannya paling tidak ada tiga ulama mazhab yang berupaya menjelaskannya, ulama mazhab Hanafi mengatakan wadi’ah adalah mengikut sertakan orang lain dalam memelihara harta baik dengan ungkapan yang jelas maupun isyarat. Sedangkan menurut ulama mazhab Syafi’I dan Maliki yaitu mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu. Kemudian berdasarkan fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) No: 01/DSN-MUI/IV/2000, menetapkan bahwa Giri yang dibenarkan secara syari’ah, yaitu giro yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah. Demikian juga tabungan dengan produk Wadi’ah, dapat dibenarkan berdasarkan Fatwa DSN No: 02/DSN-MUI/IV/2000, menyatakan bahwa tabungan yang dibenarkan, yaitu tabungan yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah. Dalam penjelasan undang-undang perbankan syari’ah tahun 2008, pasal 19, ayat 1, huruf a, dinyatakan: “Yang dimaksud dengan Akad Wadiah adalah akad penitipan barang atau uang antara pihak yang mempunyai barang atau uang dan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan, serta keutuhan barang atau uang”.[6]

  1. Ijarah

Al-ijarah berasal dari kata al-ajru, yang berarti al-iwadhu (ganti). Menurut pengertian syara, al-ijarah adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan pengganti. Al- ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership/milkiyyah) atas barang itu sendiri. Menurut Fatwa Dewan Syarah Nasional No.09/DSN/MUI/IV/2000, Ijarah merupakan akad pemindahan hak guna (manfaat ) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri, dengan demikian dalam akad ijarah tidak ada perubahan kepemilikan, tetapi hanya pemindahan hak guna saja dari yang menyewakan kepada penyewa. [7]

  1. Bank Konvensiaonal

Bank konvensional yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang mana dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran berdasarkan prosedur dan ketentuan yang telah ditetapkan. Bank konvensional ialah suatu bank yang menentukan harga dan mencari keuntungan berdasarkan prinsip konvensional. Terdapat dua acara yang digunakan bank konvensional dalam menentukan harga dan mencari keuntungan, bunga ditetapkan bank konvensional sebagai harga untuk produk simpanan (giro, tabungan dan deposito) dan produk pinjaman (kredit). [8] Dasar hukum perbankan konvensional ialah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (UU Perbankan), sedangkan dasar hukum perbankan syariah ialah Al-Qur’anul Karim, yang kemudian ketentuan-ketentuan di dalamnya dirumuskan kembali dalam hukum. [9]

  1. Perbedaan antara Bank Syariah dan Bank Konvensional

beberapa perbedaan utama antara bank konvensional dan bank syariah, sebagai berikut:

  1. Dasar Hukum

Dasar hukum perbankan konvensional ialah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (UU Perbankan), sedangkan dasar hukum perbankan syariah ialah Al-Qur’anul Karim, yang kemudian ketentuan-ketentuan di dalamnya dirumuskan kembali dalam hukum positif Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

  1. Badan hukum

Badan hukum bank umum konvensional dapat dilihat dalam Pasal 21 ayat (1) UU Perbankan, meliputi: Perseroan Terbatas, koperasi, dan perusahaan daerah. Badan hukum bank umum syariah sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU Perbankan Syariah ialah hanya dalam bentuk Perseroan Terbatas.

  1. Bunga bank

Dalam perbankan konvensional dikenal bunga bank dan time value of money. Yaitu, bahwa uang yang diinvestasikan dapat menghasilkan uang kembali dengan adanya bunga. Hal ini tidak dikenal dalam perbankan syariah, dan justr dianggap sebagai riba yang dilarang. Oleh karena itu, perbankan syariah lebih mengenal sistem bagi hasil dengan nasabah atas dasar kemitraan. Bagi hasil ini bisa dilakukan melalui beberapa pilihan akad pembiayaan seperti mudharabah, musyarakah, dan yang paling sering dilakukan saat ini yaitu murabahah.

  1. Pengawas kegiatan

Perbedaan bank syariah dan konvensional juga ditinjau dari pengawas kegiatannya. Meskipun keduanya sama-sama diatur oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 mengenai Perbankan, tetapi pihak yang mengawasinya berbeda.

Bank konvensional diawasi oleh dewan komisaris dalam aktivitasnya. Sementara struktur pengawasan bank syariah terdiri dari berbagai lembaga, diantaranya dewan pengawas syariah, dewan syariah nasional, dan dewan komisaris bank.

  1. Pembagian keuntungan

Keuntungan perbankan merupakan perbedaan bank syariah dan konvensional. Pada bank syariah, keuntungan bank diperoleh dari hasil jual beli, sewa-menyewa, dan kemitraan dengan nasabah. Tetapi bank konvensional mendapatkan keuntungan dari suku bunga yang dibebankan pada nasabah.

  1. Pengelolaan dana
    Terakhir, perbandingan bank syariah dan bank konvensional adalah pengelolaan denda. Ketika Anda terlambat melakukan pembayaran dalam bank konvensional, terdapat denda yang dibebankan kepada nasabah. Bahkan besaran bunga bisa semakin meningkat, bila nasabah tidak membayar hingga batas waktu ditetapkan.

Sementara itu, bank syariah tidak memiliki aturan beban denda bagi nasabah saat terlambat atau tidak bisa membayar. Sebagai gantinya, bank akan melakukan perundingan dan kesepakatan bersama. Meskipun beberapa bank syariah ada yang menetapkan denda pada kasus tertentu, tetapi uang denda dari nasabah tidak dinikmati oleh pihak bank melainkan dianggarkan sebagai dana sosial.

Demikian penjelasan tentang perbedaan bank syariah dan bank konvensional semoga bermanfaat.

[1] Muhammad Maksum, Al-‘Adalah, Model-model kontrak dalam perbankan syariah, Vol 12, No 1 (2014).

[2] Popon Srisusilawati, Nanik Eprianti, Law and Justice, Penerapan prinsip keadilan dalam akad Mudharabah di lembaga keuangan syariah. 2017

[3] Bagya Agung Prabowo, Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, Konsep Akad Murabahah pada perbankan syariah (analisa kritis terhadap aplikasi konsep akad murabahah di Indonesia dan Malaysia). Vol 16, No 1 (2009).

[4] Muhammad Anwar Zainuddin, Garba Rujukan Digital, Akad Musyarakah Munataqisah dalam sistem perbankan syariah. Vol 12, No 2 (2018)

[5] Enny Puji Lestari, Adzkiya Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, Risiko pembiayaan dalam akad istishna pada bank umum syariah. Vol 2, No 1 (2014).

[6] Desminar, Jurnal Penelitian dan Kajian Ilmiah, Akad Wadiah dalam prespektif Fiqih Muammalah. Vol 13, No 3 (2019).

[7] Harun Santoso, Anik Anik, Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, Analisis Pembiayaan Ijarah pada Perbankan Syariah. Vol 1, No 2 (2015).

[8] Rizka Ifanda Akbar, Jurnal Akuntansi, Analisis perbandingan efisiensi bank umum syariah dan bank umum konvensional dengan menggunakan metode data envelopment analysis. Vol 6, No 2 (2018).

[9] https://www.pphbi.com/perbedaan-bank-konvensional-dan-bank-syariah/#:~:text=Dasar%20hukum%20perbankan%20konvensional%20ialah,dalamnya%20dirumuskan%20kembali%20dalam%20hukum (Diakses pada 4 Oktober 2021, Senin pada pukul 21.54).

 

Penulis :

Sahla Azkia (42004035)

Mahasiswa STEI SEBI

Facebook Comments

Pesantren MAQI

Lembaga Bahasa Arab dan Studi Islam

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Advertisment ad adsense adlogger