Fiqih

Hukum Menikah Menurut Fiqih

Allah ﷻ memerintahkan untuk menikah sebagaimana firman Nya :

وَأَنكِحُواْ ٱلۡأَيَٰمَىٰ مِنكُمۡ وَٱلصَّٰلِحِينَ مِنۡ عِبَادِكُمۡ وَإِمَآئِكُمۡۚ إِن يَكُونُواْ فُقَرَآءَ يُغۡنِهِمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦۗ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٞ

Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang diantara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.Dan Allah maha luas pemberiannya lagi Maha mengetahui. (An-Nur: 32)

Akan tetapi secara hukum fiqih, para ulama mujtahid memerinci hukum menikah tersebut menjadi:

  1. Mustahab (sunnah)[2]

Menikah hukumnya sunnah jika seseorang telah merasa perlu untuk menikah. Dirinya sudah memiliki keinginan untuk menikah, dan memiliki kesiapan untuk memberikan mahar dan mampu menafkahi dirinya dan istrinya, akan tetapi di waktu yang sama dia tidak merasa khawatir terjerembab kedalam perbuatan keji (zina) jika tidak menikah (mampu mengendalikan diri).

Dalam kondisi seperti ini hukum menikah baginya sunnah, karena dengan menikah dia dapat memperoleh keturunan, dan mejaga kesinambungan nasab, juga pernikahan dapat membantunya untuk melaksanakan berbagai bentuk kemaslahatan yang tidak di dapatkan ketika sebelum menikah.

Di dalam shohih bukhori dan muslim disebutkan:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رضي الله عنه قَالَ : كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ ﷺ شَبَابًا لَا نَجِدُ شَيْئً, فَقَالَ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ ﷺ (( يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ البَائَةَ فَاليَتَزَوَّجْ, فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَ أَحْصَنُ لِلْفَرْجِ, وَ مَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ ))

Dari Abdullah bin Mas’ud RA, beliau mengatakan: “kami bersama nabisebagai para pemuda yang tidak memiliki sesuatupun, maka nabibersabda kepada kami: ((wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian yang mampu untuk memberikan mahar dan nafkah, maka menikahlah, karena hal itu lebih dapat menundukkan pandangan, dan lebih menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu memberi mahar dan nafkah , maka hendaknya dia berpuasa, karena puasa itu menjadi perisai baginya.))”

Sabda nabi ini di arahkan kepada sekelompok sahabat yang berjanji untuk fokus dalam beribadah, dan meninggalkan menikah. Dalam kondisi ini, menikah lebih utama daripada memfokuskan diri untuk beribadah.

Imam muslim meriwayatkan[3] dari Anas RA, bahwasanya:

أَنَّ نَفَرًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ ﷺ سَأَلُوْا أَزْوَاجَ النَّبِيِّ عَنْ أَعْمَالِهِ فِى السِّرِّ, فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا أَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ وَ قَالَ بَعْضُهُمْ لَا آكُلُ اللَّحْمَ وَ قَالَ بَعْضُهُمْ لَا أَنَامُ عَلَا يفِرَاشٍ, فَحَمِدَ اللهَ وَ أَثْنَى عَلَيْهِ وَ قَالَ ﷺ : (( مَا بَالُ أَقْوَامٍ قَالُوْا كَذَا وَ كَذَا لكِنِّيْ أُصَلِّي وَ أَنَامُ, أَصُوْمُ وَ أُفْطِرُ , أَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ , فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّيْ ))

Sekelompok dari sabahat nabimendatangi istri-istgri beliauuntuk menanyakan amalan-amalan nabi yang tidak di tampakkan oleh nabi ﷺ. Maka sebagian mereka berkata “aku tidak akan menikahi perempuan” sebagian lagi berkata “aku tidak akan makan daging” dan sebagian lagi berkata “aku tidak akan tidur di atas kasur”, maka nabi memuji Allah dan berkata: (( bagaimana halnya satu kaum yang mengatakan begini dan begini, sedangkan aku ini sholat dan aku juga tidur, aku puasa dan berbuka, akupun menikahi wanita, barangsiapa yang tidak suka dengan sunnah (cara hidup) ku, maka dia bukan golongan aku)).

Yang di maksud dengan ungkapan فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّيْ (barangsiapa yang tidak suka dengan sunnah (cara hidup) ku, maka dia bukan golongan aku), maksudnya adalah bagi orang yang meninggalkan sunnah karena berpaling (benci) kepada sunnah, dan meyakini bahwa sesuatu yang sebenarnya telah di sunnah kan nabi, dia anggap bukan bagian dari sunnah.

Wanita pun dalam hal ini sama dengan laki-laki. Jika dia sudan ingin menikah, untuk menjaga diri dan agama, dan untuk memperoleh nafkah, maka sunnah menikah baginya.

  1. Sunnah untuk tidak menikah (jika dia menikah maka hukumnya khilaful aula)[4]

Jika seseorang sudah ingin menikah, tetapi dia tidak punya kemampuan memberikan mahar dan nafkah, maka sunnah baginya untuk menjaga diri dengan memperbanyak puasa dan berbagai jenis ibadah lainnya, karena kesibukkan dia untuk beribadah dapat memalingkannya dari memikirkan pernikahan.

Allah berfirman:

وَلۡيَسۡتَعۡفِفِ ٱلَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّىٰ يُغۡنِيَهُمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦۗ

Dan orang-orang yang tidak mampu menikah,[5] hendaklah menjaga kesucian (dirinya), sampai Allah memberi keluasan rizki kepada mereka dengan karunianya (sehingga mampu menikah). (An-Nur: 22)

Hukum ini juga di fahami dari sabda nabi ﷺ:

( مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ البَائَةَ فَاليَتَزَوَّجْ))
(

Barangsiapa diantara kalian yang mampu untuk memberi mahar, maka menikahlah.

Mafhum dari hadits ini adalah jika dia tidak mampu memberikan mahar, maka sunnah baginya untuk tidak menikah.

 

  1. Makruh

Jika seseorang belum berkeinginan untuk menikah, baik karena memang hatinya belum tertarik untuk menikah, atau karena sakit, atau ada sebab lainnya. di samping itu dia pun tidak punya kemampuan untuk memberikan mahar dan nafkah. Maka dia dianggap tidak mampu melaksanakan pernikahan. Jika dia tetap menikah maka hukumnya makruh baginya.

 

  1. Lebih afdhol untuk tidak menikah.

Jika seseorang memiliki modal harta untuk berumah tangga (mahar dan nafkah), tetapi hatinya belum ada keinginan menikah, dan dia adalah seseorang yang sedang konsentrasi untuk beribadah seperti menuntut ilmu, maka berkonsentrasi untuk menuntut ilmu itu lebih utama baginya daripada menikah, karena boleh jadi dengan menikah, kesempatan menuntut ilmu menjadi tidak dapat di laksanankan dengan baik.

 

  1. Afdhol untuk menikah

Jika seseorang belum ada keinginan menikah akan tetapi juga dia bukan seorang yang sibuk dengan menuntut ilmu dan beribadah lainnya, sedangkan dia memiliki kesanggupan modal untuk berumah tangga, maka lebih utama baginya untuk menikah, karena dengna menikah dia akan mendapatkan banyak kemaslahatan dunia dan agama.

 

1 Di terjemahkan dari kitab fiqhul manhaji, syaikh DR.Musthafa khin dan DR. Mustafa Bugho

[2] Sunnah yang di maksud disini adalah sunnah menurut fuqoha bukan menurut ushuliy dan bukan juga menurut muhadits. Menurut fuqoha istilah sunnah di artikan sebagai perbuatan yang akan berpahala jika di lakukan dan tidak berdosa jika di tinggalkan:

ما يثاب فاعله و لا يعاقب تاركه  (pent)

3 HR Muslim Bab: kesunnahan menikah bagi orang yang berkeinginan untuk itu. No.   1401

(رواه مسلم باب : استحباب النكاح لمن تاقت نفسه إليه رقم 1401)

4 Khilaful aula adalah status hukum yang lebih ringan dari makruh.

4 yakni tidak memiliki kemampuan memberi mahar dan nafkah (hasyiah showi 3:39, pent)

Penulis : Ustadz Ja’far Shiddiq (Wakil Mudir Pesantren MAQI)

Facebook Comments

Pesantren MAQI

Lembaga Bahasa Arab dan Studi Islam

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Advertisment ad adsense adlogger