Khutbah Jumat

Mengendalikan Amarah Ciri Seorang Mu’min

Ma’asyiral muslimin rahimanii wa rahimakumullah jami’an

Allah Subhanahu wa ta’ala yang telah menciptakan Alam semesta dunia ini, yang telah memberikan kita ni’mat akal, hati dan sehat, memerintahkan pada kita untuk hidup dengan berahklaq yang mulia akhlaqul kariimah dan melarang pada kita untuk berakhlaq dengan akhlaq yang buruk dan tercela.

Di antara akhlaq tercela yang harus kita hindari adalah perilaku melampiaskan amarah yang tidak memiliki kendali. Karena apabila seseorang telah dikendalikan oleh amarahnya tidak ada satu pun kebaikan yang lahir dan akhirnya perbuatan dan perkataan buruk yang keluar dari dirinya.

Di dalam suatu riwayat dikatakan, bahwa salah seorang sahabat mendatangi Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam, dan meminta sebuah nasihat yang ringkas agar bermanfaat baginya dalam urusan din, kemudian Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam menasehatinya agar dia tidak marah, hingga Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam mengulang-ngulangnya sampai tiga kali.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْصِنِي قَالَ لَا تَغْضَبْ فَرَدَّدَ مِرَارًا قَالَ لَا تَغْضَبْ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, seorang lelaki berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Berilah aku wasiat”. Beliau menjawab: “Janganlah engkau marah”. Lelaki itu mengulang-ulang permintaannya, (namun) Nabi (selalu) menjawab, “Janganlah engkau marah”

Ma’asyirol muslimin rahimakumullah jami’an

Pesan hadits di atas, betapa jelasnya celaan terhadap amarah, oleh sebab itu kita pun dituntut untuk menjauhi hal-hal yang dapat memicu amarah baik bagi sendiri maupun orang lain.

Karena ketika satu jawaban yang sama dilontarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diulang-ulang berkali-kali, menjadi sebuah petunjuk betapa besarnya pengaruh yang timbul dari amarah seseorang.

Mengenai amarah, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam memberikan sebuah petunjuk untuk  menghilangkan amarah yang tak terkendali. Beliau Rasululllah Shalallahu Alaihi Wasallam mengatakan bahwa: marah itu pengaruh syetan, sedangkan syetan itu berasal dari api, api biasanya kalah dengan air.

Maka barang siapa yang marah ‘harus cepat berwudlu’, agar cepat hilang marahnya. Apabila kebetulan marah itu datang ketika berdiri, cepatlah duduk. Apabila sedang duduk, cepatlah berbaring. Dengan cara demikian, mudah-mudahan marah itu cepat hilang.

Dengan itu mudah-mudahan ketika seseorang sudah mudah baginya untuk mengendalikan amarahnya semakin mudah pula baginya untuk memaafkan, sebagaimana yang Allah ta’ala firmankan :

وَالْكَاظِمِيْنَ الْغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَۚ

dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.

Maka bagi mereka surgaNya Allah yang luasnya seluas langit dan bumi

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي القُرْآنِ الكَرِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ

Khutbah Kedua

الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، وَلاَ عُدْوَانَ إِلاَّ عَلَى الظَّالِمِيْنَ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا، أَمَّا بَعْدُ

Ma’asyirol muslimin rahimakumullah jami’an

Didalam kitab Tanbihul Ghofiliin karangan Imam Abu Laits As-Samarqandi, para ahli hikmah berkata, bahwa zuhud di dunia ada empat:

  1. Yakin kepada Allah Ta’ala akan janji-janji Allah terhadap urusan dunia dan akhirat.
  2. Menjadikan pujian dan celaan dari manusia hal yang seimbang.
  3. Berbuat ikhlas pada setiap amalannya.
  4. Menahan amarah dan Memaafkan orang yang telah mendzolimi dirinya serta menjadi peribadi yang lembut dan penyabar.

Kesimpulannya, barang siapa yang bisa menguasi dirinya dan mengendalikan amarahnya maka orang tersebut telah menjadi insan kamil yang berada dalam akhlaq yang luhur, karena kebaikan tidak hanya dilihat dari seberapa banyak dia berbuat kebaikan, tapi juga dari seberapa besar dia dapat memaafkan orang lain yang telah berbuat salah kepada dirinya.

Wallahu a’lam bis showaab.

Penulis : Ustadz A. Muslim Nurdin, S.Pd (Mudir Pesantren MAQI)

Facebook Comments

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Advertisment ad adsense adlogger