Pengantar Ulumu Al-Quran
Kata ulum adalah bentuk jama’ dari kata ilmu, karenanya kata ulum diartikan sekumpulan ilmu. Dalam kajian ulum Al-Quran, paling tidak ada dua perspektif yang harus dijadikan sebagai parameter. Yang pertama, ilmu dalam perspektif kitab suci Al-Quran dan yang kedua ilmu dalam perpektif filsafat ilmu.
Ilmu dalam perspektik kitab suci Al-Quran. Ilmu dalam khazanah Al-Quran seperti berbentuk segitiga yang antar sudutnya saling berhubungan. Allah ‘azza wa jalla menempati puncak piramid, hal tersebut menunjukan bahwa pada hakikatnya, Dia lah yang memiliki ilmu yang hakiki, kerenya pula Allah disifati ‘Alim (yang maha mengetahui). Seluas apapun ilmu yang diraih seseorang, hanyalah seperti setetes air diluasnya Samudra pengetahuan Allah ‘azza wa jalla. Manusia memiliki hirarki yang tinggi dibandingkan dengan ciptaan Allah yang lainya, walaupun begitu posisinya disejajarkan dengan alam, karena memang manusia merupakan miniatur alam semesta yang sering diistilahkan mikro kosmos. Karena hal tersebutlah, alam harus diposisikan sebagai patner dalam pengabdian kepada Allah ‘azza wa jalla.bukan sebatas media exploitasi manusia dalam mengarungi kehidupan.
Ilmu pada dasarnya muncul berawal dari posisi Allah ‘azza wa jalla sebagai sumber pengetahuan. Dia mengajari Manusia ( ‘allama) alam semesta ( Al-Asma) memaluli penaklukan (Al-tashir) alam semesta yang dengannya manusia menjadi mudah untuk menelaah (qaraa) berabagai penomena yang terjadi. Hasil penelaahan tersebut akan memunculakn ragam ilmu pengetahuan.
Kemunculan ilmu juga erat kaitannya dengan interaksi antara Allah ‘azza wa jalla dan manusia melalui kalamnya yang popular sebagsi wahyu dan ilham. Wahyu erat kaitanya dengan manusia-manusia pilihan yaitu para nabi dan rasul, Adapun ilham erat kaitannya dengan menusia yang berusaha keras mensucikan dirinya di luar para nabi dan rasul.
Pada umumnya beranggapan bahwa kebalikan ilmu adalah Al-jahl. Namun menurut khazanah keilmuan Al-Quran, ternyata kata ilmu dikontraskan dengan kat al-dzannu, sebagaimana Firman Allah dalam Al-Quran suat Al-njm ayat 28-29:
وَمَالَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِنْ يَّتَّبِعُوْنَ إِلَّا الظَّنَّ وَ إِنَّ الظَّنَّ لَايُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا (28) فَأَعْرِضْ عَنْ مَنْ تَوَلَّى عَنْ ذِكْرِنَا وَ لَمْ يُرِدْ إِلَّا الْحَيَوةَ الدُّنْيَا (29)
Dan mereka tidak memiliki ilmu tentag itu, mereka hanya mengikuti prasangka mereka saja dan sesungguhya prasangka itu tidak akan bermanfaat terhadap kebenaran (28) maka berpalinglah terhadap orang yang berpaling dari ingat kepada kami dan tidak menginginkan kecuali kehidupan dunia (29).
Ayat diatas menunjukan bahwa kebalikan ilmu adalah al-dzannu bukan al-jahl. Ilmu akan melahirkan karakter tenang (Al-hilm) dalam jiwa seseorang yang akan terimplementasikan dalam kesehariannya. Kemampuan mengendalikan emosi sudah menjadi citra dalam diri seseorang maka orientasinya adalah al-Akhirat. Sementara itu al-dzannu akan melahirkan karakter al-jahl pada seseorang, ketiaka al-jahl menjadi citra seseorang maka pola fikirnya adalah al-‘ajilah (dunia).
Dalam filsafat ilmu, sesuatu dapat dikatakan sebagai ilmu ketika tiga syarat terpenuhi yaitu ontology, epistimologi dan aksiologi. Secara sederhana ontology terkait dengan objek yang akan dikaji, epistimologi terkait dengan cara apa objek itu dikaji, sementara aksiologi terkait dengan manfaat hasil kajiannya.
Jika dilihat dengan parameter ini, dapat dikatakan bahwa ontologi dari ulum Al-Quran adalah kitab suci, epistimologinya terbagi dua: yang pertama riwayat, pandangan orang yang sampai pada kita melalui jalur periwayatan yang tidak terputus. Yang kedua dirayat, yakni usaha kerja nalar. Sementara ditinjau dari sisi aksiologinya, ulum Al-Quran bernilai untuk memahami kehendak Allah yang termaktub dalam kitab suci. Dengan terpenuhinya ketiga unsur tersebut, ulumu Al-Quran sudah pantas disebut sebagai ilmu dalam perspektif dalam filsafat ilmu.
Penulis : Ustadz Wildan Risalat (Bidang Kesantrian Pesantren MAQI)