Tujuan Kehadiran Al-Qur’an
Al-Quran secara garis besar menghimpun tiga materi pokok yakni rahmat, keesaan dan keadilan. Berdasarkan materi pokok tersebut dapat dirumuskan tiga tujuan diturunkannya Al-Quran dalam tataran ahdaf yaitu;
- Syakiriin
Berdasarkan materi rahmat dapat dirumuskan bahwa salah satu tujuan diturunkannya Al-Quran pada tataran ahdaf adalah mewujudkan manusia yang bersyukur yang erat kaitannya dengan kesadaran manusia terhadap segala sesuatu yang diberikan oleh Allah ‘azza wa jalla pada periode awal penciptaan dan selama proses perjalanan hidupnya menuju sang pencipta. Dengan demikian syukur merupakan gerak manusia menuju kepada-Nya yang didasari kepada kesadaran akan rahmat-Nya, baik rahmat dalam dimensi fisik ataupun dimensi spritual. Konsekuensi logisnya seluruh kebaikan yang ada pada diri manusia sama sekali bukan berasal dari dirinya sendiri, karena itu pemgingkaran terhadap rahmat-Nya diidentifikasi sebagai bentuk kekufuran.
- Mukhlishin
Mukhlishin menjadi tujuan selanjutnya dalam tataran ahdaf diturukannya Al-Quran yang merupakan konsekuensi kesadaran terhadap keesaan Allah ‘azza wa jalla. Dalam hal ini manusia dituntut untuk menyadari fungsinya sebagai hamba ( عبد) yang sikap dasarnya adalah patuh terhadap semua titah tuannya. Keta’atan kepada semua perintah tanpa pamrih disebut ibadah, sedangkan ibadah yang paling tinggi adalah islam, maksudnya adalah memasrahkan diri terhadap segala kehendak tuannya. Dari sini dapat dipahami bahwa muslim adalah orang yang menghambakan diri kepada sang Khaliq secara ikhlash. Kepasrahan sukarela mengisyaratkan bahwa pada dasarnya mampu memilih untuk tidak tunduk. Namun penolakan semacam ini diidentifikasi sebagai bentuk perlwanan terhadap kehendak Allah ‘azza wa jalla yang akan mengakibatkan kegoncangan, disharmoni dan kehancuran sejak diri sendiri dan akan mengakibatkan kerusakan, disharmoni dengan kehancuran tatanan sosial dan alam semesta
- Taqwa
Taqwa merupakan tujuan pokok diturukannya Al-Quran yang didasarkan pada kesadaran akan keadilan Allah ‘azza wa jalla. Kalimat taqwa berasal dari akar kata waqaa ( وقى) yang mengandung makna menjaga, menghindari, menjauhi dan semacamnya. Imam Al-raghib mendefinisikan taqwa dengan menjaga jiwa dari prilaku dosa yang dimanipestaaikan dengan meninggalkan seluruh larangan-larangan-Nya dan melaksanakan segala perintah-Nya. Menurut Imam Al-Nawawi taqwa merupakan bentuk keta’atan terhadap perintah dan larangan-Nya. Definisi ini diperkuat Imam Al-zurjani yang menyatakan taqwa adalah menjaga diri dari siksa Allah ‘azza wa jalla dengan menta’ati-Nya. Yakni menjaga diri dari segala perbuatan yang akan mengakibatkan siksa. Baik dengan cara melaksakan segala perintah ataupun meninggalkan segala larangan. Oleh sebab itu dalam budaya masyarakat Arab ada pepatah yang menyatakan الوقاية خير من العلاج sikap berhati-hati lebih baik dari pada mengobati
Titik tolak taqwa adalah kesadaran akan keadilan yang menjadi pemantik munculnya rasa takut akan siksa-Nya. Karenanya ayat-ayat taqwa mengingatkan manusia pada implementasi fungsional manusia dimuka bumi yang dituntut untuk menegakan keadilan dan menjauhi kedzaliman dalam upaya mewujudkan kehidupan beradab dan meraih martabat tertinggi dihadapa-Nya.
Penulis : Ustadz Wildan Risalat (Bidang Kesantrian Pesantren MAQI)