Fiqih

Permasalahan Seputar Buang Air dan Adab-adabnya

Agama islam sangat memperhatikan berbagai aspek kehidupan. Dari masalah besar hingga kecil, termasuk permasalahan seputar buang hajat atau buang air yang pasti dilakukan oleh setiap orang. Permasalahan ini terdiri dari beberapa bagian:

  1. Istinja’ dan Istijmar,

Istinja’ adalah membersihkan apa yang keluar dari dua jalan (kubul dan dubur) dengan air, sedangkan Istijmar adalah mengusap apa yang keluar dari dua jalan dengan sesuatu yang suci, mubah, dan dapat membersihkan, seperti batu dan semisalnya. Menggunakan salah satunya mencukupkan dari yang lainnya, karena hal tersebut dilakukan oleh Nabi SAW.

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْخُلُ الْخَلَاءَ فَأَحْمِلُ أَنَا وَغُلَامٌ نَحْوِي إِدَاوَةً مِنْ مَاءٍ وَعَنَزَةً فَيَسْتَنْجِي بِالْمَاءِ

“Rasulullah hendak buang air maka aku dan seorang anak kecil membawa sebuah wadah berisi air dan sebuah tongkat. Maka beliau -shallallahu alaihi wa sallam- beristinja’ menggunakan air” (HR Bukhari dan Muslim)

Istijmar tidak boleh kurang dari tiga usapan, berdasarkan hadits Salman RA, yang berkata,

نَهَانَا-أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِالْيَمِينِ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِرَجِيعٍ أَوْ بِعَظْمٍ

“Beliau – yakni Nabi SAW telah melarang kami untuk beristinja’ dengan tangan kanan, beristinja’ dengan kurang dari tiga batu, dan beristinja’ dengan kotoran hewan atau tulang (H.R Muslim)

  1. Hukum mengahadap dan membelakangi kiblat ketika buang air

Tidak boleh mengahadap atau membelakangi kiblat saat buang hajat di tanah terbuka tanpa penutup (dinding), berdasarkan hadits Abu Ayyub Al-Anshari RA, Rasulallah SAW bersabda,

إِذَا أَتَيْتُمْ الْغَائِطَ فَلَا تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ وَلَا تَسْتَدْبِرُوهَا وَأَمَرَ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ وَنَهَى عَنْ الرَّوْثِ وَالرِّمَّةِ وَنَهَى أَنْ يَسْتَطِيبَ الرَّجُلُ بِيَمِينِهِ

“Bila kalian datang ke tempat buang hajat, maka janganlah kalian menghadap kiblat dan jangan pula membelakanginya, akan tetapi menghadaplah ke timur atau barat (HR. Ibnu Majah)

Adapun bila buang hajat dilakukan di dalam bangunan atau antara pelakunya dengan kiblat terdapat sesuatu yang menutupinya, maka hal itu tidak mengapa, berdasarkan hadits Ibnu Umar RA,

رَأَيْتُ ابْنَ عُمَرَ أَنَاخَ رَاحِلَتَهُ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ ثُمَّ جَلَسَ يَبُوْلُ إِلَيْهَا ، فَقُلْتُ : يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ ، أَلَيْسَ قَدْ نُهِيَ عَنْ هَذَا ؟ قَالَ : بَلَى ، إِنَّمَا نُهِيَ عَنْ ذَلِكَ فِي الْفَضَاءِ ، فَإِذَا كَانَ بَيْنَكَ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ شَيْءٌ يَسْتُرُكَ فَلاَ بَأْسَ.

“Aku telah melihat ‘Abdullah bin ‘Umar menderumkan untanya ke arah kiblat kemudian beliau jongkok (dan) kencing kepadanya (ke arahnya), lalu aku berkata, ‘Wahai Abu ‘Abdurrahman, bukankah hal ini telah dilarang?’ Dia berkata, ‘Ya, (tetapi) hal itu hanya dilarang di tanah yang lapang. Apabila di antaramu dan di antara kiblat ada sesuatu yang menutupimu, maka hal itu tidak mengapa’.”(HR. Abu Daud)

Walaupun boleh menghadap/membelakangi qiblat (ada penghalang) tapi lebih utama tidak melakukannya untuk tetap menjaga kemulian qiblat. Wallahu ‘alam.

Alhamdulillah pembahasan seputar permasalahan buang air kita cukupkan dulu sampai sini, kita lanjut pekan depan untuk pembahasan part 2 nya.

Facebook Comments

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.