Bayi tabung dalam perspektif Fiqih islam
HUKUM EKONOMI ISLAM
SEKOLAH TINGGI EKONOMI ISLAM SEBI – DEPOK
Email: sitiregitanurhaliza14@gmail.com
Abstract
Science and technology in the field of medicine has developed very rapidly. One of the results in this field is the discovery of new ways of producing humans, which in medical terms is called in vitro fertilization or more popularly known as IVF. Where they marry sperm and ova outside the uterus in a tube that is prepared in advance for it. After fertilization occurs, then it is attached to the woman’s womb which was prepared in advance. With a process like this will produce babies as obtained in a natural way. Advances in medical science and technology in terms of processing IVF births by means of artificial assimilation, from one side can be seen as a success to overcome difficulties for married couples who have long been expecting offspring. But from the other side, the IVF program mentioned above has caused many problems in the legal field, especially for Muslims.
Abstrak
Ilmu dan teknologi dibidang kedokteran mengalami perkembangan yang sangat pesat. Salah satu hasil dibidang ini adalah dengan telah ditemukannya cara-cara baru dalam memproduksi manusia yang dalam istilah kedokteran disebut dengan fertifisasiin vitro atau lebih popular dengan istilah bayi tabung. Dimana mereka mengawinkan sperma dan ovum diluar rahim dalam sebuah tabung yang dipersiapkan lebih dulu untuk itu. Setelah terjadi pembuahan, barulah ditempelkan ke dalam Rahim wanita yang dipersiapkan sebelumnya. Dengan proses seperti ini akan menghasilkan bayi sebagaimana yang diperoleh dengan cara yang alami. Kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran dalam hal memproses kelahiran bayi tabung dengan cara asimilasi buatan, dari satu sisi dapat dipandang sebagai suatu keberhasilan untuk mengatasi kesuilitan bagi pasangan suami isteri yang telah lama mengharapkan keturunan. Tetapi dari sisi lain, program bayi tabung tersebut diatas, telah banyak menimbulkan permasalahan di bidang hukum, khususnya bagi umat Islam.
PENDAHULUAN
Bayi tabung adalah merupakan Individu (bayi) yang di dalam kejadiannya, proses pembuatannya terjadi diluar tubuh wanita (in vitro), atau dengan kata lain bayi yang di dalam proses kejadiannya itu ditempuh dengan cara Inseminasi buatan, yaitu suatu cara memasukkan sperma ke dalam kelamin wanita tanpa melalui senggama. Kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran dalam hal memproses kelahiran bayi tabung dengan cara asimilasi buatan, dari satu sisi dapat dipandang sebagai suatu keberhasilan untuk mengatasi kesuilitan bagi pasangan suami isteri yang telah lama mengharapkan keturunan. Tetapi dari sisi lain, program bayi tabung tersebut diatas, telah banyak menimbulkan permasalahan di bidang hukum, khususnya bagi umat Islam. Permasalahan-permasalahan yang pantas ditampilkan antara lain mengenai bagaimana status hubungan nasab bayi tabung tersebut.
PEMBAHASAN
Bayi tabung adalah istilah awamnya sedangkan dalam kamus kedokteran dikenal dengan istilah “artificial insemination” atau inseminasi (pembuahan) buatan. Pengertian san macamnya cukup beragam, dan istilah GIFT (Gamete Intrafallopin Transfer), IVF (In Vitro Fertilization), ZIFT (Zygot Intrafallopin Transfer), ICSI (Intracytoplasmic Sperm Injection). [1]
Bayi tabung adalah merupakan Individu (bayi) yang di dalam kejadiannya, proses pembuatannya terjadi diluar tubuh wanita (in vitro), atau dengan kata lain bayi yang di dalam proses kejadiannya itu ditempuh dengan cara Inseminasi buatan, yaitu suatu cara memasukkan sperma ke dalam kelamin wanita tanpa melalui senggama.
Dalam bahasa Arab, Inseminasi buatan disebut dengan Istilah At-Taiqihus-Sina’i. Proses Bayi tabung adalah sperma dan ovum yang telah dipertemukan dalam sebuah tabung, dimana setelah terjadi pembuahan, kemudian disarangkan ke dalam rahim wanita, sehingga sampai pada saatnya lahirlah bayi tersebut.[2]
- JENIS-JENIS BAYI TABUNG
Apabila ditinjau dari segi sperma,dan ovum serta tempat embrio ditransplantasikan, maka bayi tabung mempunyai beberapa jenis yaitu[3]:
- Bayi tabung yang menggunakan sperma dan ovum dari pasangan suami-isteri, kemudian embrionya ditransplantasikan kedalam rahim isteri.
- Bayi tabung yang menggunakan sperma dan ovum dari pasangan suami-isteri, lalu embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim ibu pengganti (surrogatemother).
- Bayi tabung yang menggunakan sperma dari suami dan ovumnya berasal dari donor, lalu embrionya di transplantasikan ke dalam rahim isteri atau sebaliknya.
- HUKUM BAYI TABUNG DAN NASHABNYA
- Hukum Bayi Tabung Jenis Pertama.
Bayi tabung yang menggunakan sperma dan ovum dari pasangan suami-isteri, kemudian embrionya ditransplantasikan kedalam rahim isteri yaitu, sebagai berikut[4];
- Surat Keputusan Majelis Ulama Indonesia Nomor: Kep-952/MUI/XI/1990 tentang Inseminasi Buatan/Bayi Tabung, tertanggai 26 November 1990 menyebutkan bahwa: Bayi tabung menurut proses dengan sperma dan ovum dari suami-isteri yangmenurut Hukum Islam, adalah Mubah, dengan syarat: (1).Teknis mengambil semen(sperma) dengan cara yang tidak bertentangan dengan Syari’at Islam. (2) Penempatan zygota seyogyanya dilakukan oleh dokter wanita. (3) Resiplen adalah Isteri sendiri. (4) Status anak dari bayi tabung PLTSI-RRI (sperma dan ovum dari suami-isteri yang sah, resiplen isteri sendiri yang mempunyai ovum itu adalah anak sah dari suami-isteri yang bersangkutan.
- Nahdlatul Ulama (NU) juga telah menetapkan fatwa terkait masalah ini dalam forum Munas Alim Ulama di Kaliurang, Yogyakarta pada 1981. Ada tiga keputusan yang ditetapkan ulama NU terkait masalah bayi tabung[5]:
- Apabila mani yang ditabung dan dimasukan ke dalam rahim wanita tersebut ternyata bukan mani suami-istri yang sah, maka bayi tabung hukumnya haram. Hal itu didasarkan pada sebuah hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik dalam pandangan Allah SWT, dibandingkan perbuatan seorang lelaki yang meletakkan spermanya (berzina) di dalam rahim perempuan yang tidak halal baginya.”
- Apabila sperma yang ditabung tersebut milik suami-istri, tetapi cara mengeluarkannya tidak muhtaram, maka hukumnya juga haram. “Mani muhtaram adalah mani yang keluar/dikeluarkan dengan cara yang tidak dilarang oleh syara’,” papar ulama NU dalam fatwa itu. Terkait mani yang dikeluarkan secara muhtaram, para ulama NU mengutip dasar hukum dari Kifayatul Akhyar II/113. “Seandainya seorang lelaki berusaha mengeluarkan spermanya (dengan beronani) dengan tangan istrinya, maka hal tersebut diperbolehkan, karena istri memang tempat atau wahana yang diperbolehkan untuk bersenang-senang.”
- Apabila mani yang ditabung itu mani suami-istri dan cara mengeluarkannya termasuk muhtaram, serta dimasukan ke dalam rahim istri sendiri, maka hukum bayi tabung menjadi mubah (boleh).
- Majelis Mujamma’ Fiqih Islami ini menetapkan dua perkara berikut ini boleh dilakukan jika memang sangat dibutuhkan dan setelah memastikan keamanan dan keselamatan yang harus dilakukan, sebagai berikut:
- Sperma tersebut diambil dari si suami dan indung telurnya diambil dari istrinya kemudian disemaikan dan dicangkokkan ke dalam rahim istrinya.
- Sperma si suami diambil kemudian di suntikkan ke dalam saluran rahim istrinya atau langsung ke dalam rahim istrinya untuk disemaikan.
Secara umum beberapa perkara yang sangat perlu diperhatikan dalam masalah ini adalah aurat vital si wanita harus tetap terjaga (tertutup) demikian juga kemungkinan kegagalan proses operasi persemaian sperma dan indung telur itu sangat perlu diperhitungkan. Demikian pula perlu diantisipasi kemungkinan terjadinya pelanggaran amanah dari orang-orang yang lemah iman di rumah-rumah sakit yang dengan sengaja mengganti sperma ataupun indung telur supaya operasi tersebut berhasil demi mendapatkan materi dunia. Oleh sebab itu dalam melakukannya perlu kewaspadaan yang ekstra ketat[6].
- Hukum Bayi Tabung Jenis Ke dua
Bayi tabung yang menggunakan sperma dan ovum dari pasangan suami-isteri, lalu embrionya di transplantasikan ke dalam rahim ibu pengganti (surrogatemother.) Perdebatan di seputar sewa menyewa rahim atau ibu pengganti menjadi perdebatan panjang di kalangan masyarakat, baik muslim maupun non muslim. Hal ini antara lain disebabkan karena hukum bayi tabung, tidak ada pembahasannya dalam nash maupun kitab-kitab klasik. Dalam masyarakat Islam sehubungan dengan permasalahan ini, ada dua kelompok yang memiliki perbedaan pendapat yaitu kelompok yang mendukung atau membolehkan serta kelompok yang menolak atau mengharamkan. Di antara pendapat-pendapat tersebut antara lain adalah:
- Pendapat yang Menolak atau Mengharamkan, yaitu:
- Menurut Syaikh Mahmud Syaltut. Adapun, jika inseminasi itu dari sperma laki-laki lain yang tidak terikat akad perkawinan dengan wanita – dan barangkali ini yang banyak di bicarakan orang mengenai inseminasi- maka sesungguhnya tidak dapat di ragukan lagi, hal itu akan mendorong manusia ketaraf kehidupan hewan dan tumbuh-tumbuhan dan mengeluarkannya dari harkat kemanusiaan, yaitu harkat kemasyarakatan yang luhur yang dipertautkan dalam jalinan perkawinan yang telah disebar luaskan. Dan bilamana inseminasi buatan untuk manusia itu bukan dari sperma suami, maka hal seperti ini sttusnya tidak dapat diragukan lagi adalah suatu perbuatan yang sangat buruk sekali dan suatu kejahatan yang lebih munkar dari memungut anak[7]
- Pendapat Munas Alim Ulama’ (NU) Di Sukorejo Situbondo Tahun 1983. Tidak sah dan haram hukumnya menyewakan rahim bagi suami istri yang cukup subur dan sehat menghendaki seorang anak. Namun kondisi rahim sang istri tidak cukup siap untuk mengandung seorang bayi. Selain hadis di atas para ulama’ peserta munas berdasarkan hadis Nabi yang terdapat pada Tafsir Ibnu Katsir Juz 3/32 Rasulullah bersabda: “Tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik di bandingkan seseorang yang menaruh spermanya di rahim wanita yang tidak halal baginya”.[8]
Jika terdapat kasus semacam itu, peserta munas berpendapat bahwa, dalam hal nasab, kewalian dan hadlanah tidak bisa dinisbatkan kepada pemilik sperma menurut Imam Ibnu Hajar, karena masuknya tidak muhtaram. Yang dimahsud dengan sperma yang muhtaram adalah hanya ketika keluarnya saja, sebagaimana yang dianut oleh Imam Ramli, walaupun menjadi tidak terhormat ketika masuk (ke vagina orang lain).
- Ulama besar Mesir Dr. Yusuf Qaradhawi antara lain menulis bahwa semua ahli fiqih tidak membolehkan penyewaan rahim dalam berbagai bentuknya.[9] Menurutnya, para ahli fiqih dan para pakar dari bidang kedokteran telah mengeluarkan fatwa yang membolehkan suami-istri atau salah satunya untuk memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan demi membantu mereka mewujudkan kelahiran anak. Namun, mereka syaratkan spermanya harus milik sang suami dan sel telur milik sang istri, tidak ada pihak ketiga di antara mereka. Misalnya, dalam masalah bayi tabung.[10] Demikian tulis Qaradhawi. Selanjutnya, Qaradhawi menulis, jika sperma berasal dari laki-laki lain baik diketahui maupun tidak, maka ini diharamkan. Begitupula jika sel telur berasal dari wanita lain, atau sel telur milik sang istri, tapi rahimnya milik wanita lain, inipun tidak diperbolehkan. Ketidakbolehan ini, menurut Qaradhawi, dikarenakan cara ini akan menimbulkan sebuah pertanyaan membingungkan, “Siapakah sang ibu bayi tersebut, apakah si pemilik sel telur yang membawa karakteristik keturunan, ataukah yang menderita dan menanggung rasa sakit karena hamil dan melahirkan?” Padahal, ia hamil dan melahirkan bukan atas kemauannya sendiri. Demikian Qaradhawi menjelaskan. Lebih jauh Qaradhawi menulis:“Bahkan, jika wanita tersebut adalah istri lain dari suaminya sendiri, maka ini tidak diperbolehkan juga. Pasalnya, dengan cara ini, tidak diketahui siapakah sebenarnya dari kedua istri ini yang merupakan ibu dari bayi akan dilahirkan kelak. Juga, kepada siapakah nasab (keturunan) sang bayi akan disandarkan, pemilik sel telur atau si pemilik rahim? Para ahli fiqih sendiri berbeda pendapat jika hal ini benar-benar terjadi. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa ibu sang bayi tersebut adalah si pemilik sel telur, dan saya lebih condong kepada pendapat ini. Ada juga yang berpendapat bahwa ibunya adalah wanita yang mengandung dan melahirkannya. Makna lahiriah dari ayat Al-Qur’an, sejalan dengan pendapat ini, yaitu dalam firman Allah swt, yaitu : ‘Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka.’(al-Mujaadilah: 2)”
- Menurut undang-undang di indonesia dalam UU No. 1 Tahun 1974 pasal 42 menyebutkan: “anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah” (UU No. 1 tahun 1974pasal 42).[11] Maka secara status anak tersebut menyamai anak zina karena lahir dari rahim wanita yang tidak menjadi pasangan sah. Dan akhirnya semua perkara diatas hukumnya haram.
- Pendapat yang membolehkan sewa rahim, yaitu:
- Dr. Jurnalis Udin, PAK.[11] berpendapat; apabila rahim milik istri peserta program fertilisasi in vitriol transfers embrio itu memenuhi syarat untuk mengandung embrio itu hingga lahir, penyelenggaraan reproduksi bayi tabung yang proses kehamilannya di dalam rahim wanita lain (surrogate mother) hukumnya haram. Sebaliknya apabila; (a) rahim istrinya rusak dan tidak dapat mengandungkan embrio itu, (b) belum di temukan teknologi yang dapat mengandungkan embrio itu di dalam tabung hingga lahir, (c) dan karena itu satu-satunya jalan untuk mendapatkan anak dari benihnya sendiri hanyalah melalui jalan surrogate mother maka hukum menyelenggarakan reproduksi bayi tabung dengan menggunakan rahim wanita lain (surrogate mother) hukumnya mubah, karena hal itu dilakukan selain dalam keadaan darurat juga karena keinginan mempunyai anak sangat besar.[12]
- Ali Akbar,menyatakan bahwa: Menitipkan bayi tabung pada wanita yang bukan ibunya boleh, karena si ibu tidak bisa menghamilkannya, disebabkan karena rahimnya mengalami gangguan, sedang menyusukan anak kepada wanita lain di perbolehkan dalam islam, malah boleh di upahkan. Maka boleh pulalah memberikan upah kepada wanita yang meminjamkan rahimnya.[13]
- Salim Dimyati berpendapat; Bayi tabung yang menggunakan sel telur dan sperma dari suami yang sah, lalu embrionya di titipkan kepada ibu yang lain (ibu pengganti), maka apa yang di lahirkannya tidak lebih hanya anak angkat belaka, tidak ada hak mewarisi dan di warisi, karena anak angkat bukanlah anak sendiri, tidak boleh di samakan dengan anak kandung.[14]
Pendapat pertama lebih menekankan pada konsep darurat, yaitu keadaan dimana keinginan memperoleh keturunan sangat besar, sedangkan belum ditemukan cara selain menyewa rahim. Pendapat kedua diperbolehkannya karena kandungan sang istri tidak bisa mengandung, pendapat ini menyamakan dengan diperbolehkannya menyusukan anak kepada perempuan lain, bahkan dengan memberikan upah. Sedangkan pendapat terakhir menyatakan bahwa boleh melakukan sewa rahim, namun anak yang dihasilkan tetap tidak seperti anak kandung, bahkan statusnya seperti anak angkat.
- Hukum Bayi Tabung Jenis Ke Tiga
Inseminasi buatan yang dilakukan dengan bantuan donor sperma dan ovum, maka diharamkan dan hukumnya sama dengan zina. Sebagai akibat hukumnya, anak hasil inseminasi itu tidak sah dan nasabnya hanya berhubungan dengan ibu yang melahirkannya. Menurut hemat penulis, dalil-dalil syar’i yang dapat dijadikan landasan menetapkan hukum haram inseminasi buatan dengan donor ialah:
- Firman Allah SWT dalam surat al-Isra:70 dan At-Tin:4. Kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk yang mempunyai kelebihan/keistimewaan sehingga melebihi makhluk-makhluk Tuhan lainnya. Dan Tuhan sendiri berkenan memuliakan manusia, maka sudah seharusnya manusia bisa menghormati martabatnya sendiri serta menghormati martabat sesama manusia. Dalam hal ini inseminasi buatan dengan donor itu pada hakikatnya dapat merendahkan harkat manusia sejajar dengan tumbuh-tumbuhan dan hewan yang diinseminasi.
- Hadits Nabi Saw yang mengatakan, “tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir menyiramkan airnya (sperma) pada tanaman orang lain (istri orang lain).” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan dipandang Shahih oleh Ibnu Hibban). Hadits ini juga dapat dijadikan dalil untuk mengharamkan inseminasi buatan pada manusia dengan donor sperma dan/atau ovum, karena kata maa’ dalam bahasa Arab bisa berarti air hujan atau air secara umum, seperti dalam At-Thaha:53. Juga bisa berarti benda cair atau sperma seperti dalam An-Nur:45 dan Al-Thariq:6.
- Kaidah Hukum Fiqih. Dalil lain untuk syarat kehalalan inseminasi buatan bagi manusia harus berasal dari sperma dan ovum pasangan yang sah menurut syariah adalah kaidah hukum fiqih yang mengatakan “dar’ul mafsadah muqaddam ‘ala jalbil mashlahah” (menghindari mafsadah atau mudharat) harus didahulukan daripada mencari atau menarik maslahah/kebaikan.
KESIMPULAN
Bayi tabung adalah merupakan Individu (bayi) yang di dalam kejadiannya, proses pembuatannya terjadi diluar tubuh wanita (in vitro), atau dengan kata lain bayi yang di dalam proses kejadiannya itu ditempuh dengan cara Inseminasi buatan, yaitu suatu cara memasukkan sperma ke dalam kelamin wanita tanpa melalui senggama.
Jenis Jenis Bayi Tabung dari segi sperma,dan ovum serta tempat embrio ditransplantasikan;
- Bayi tabung yang menggunakan sperma dan ovum dari pasangan suami-isteri, kemudian embrionya ditransplantasikan kedalam rahim isteri.
- Bayi tabung yang menggunakan sperma dan ovum dari pasangan suami-isteri, lalu embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim ibu pengganti (surrogatemother).
- Bayi tabung yang menggunakan sperma dari suami dan ovumnya berasal dari donor, lalu embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim isteri atau sebaliknya.
Adapun Hukum dari bayi tabung adalah:
- Hukum bayi tabung dengan jenis yang pertama menurut para pakar diperbolehkan dengan nasab yang jelas yakni mengikuti nasab ayah dan ibu kandunganya.
- Hukum bayi tabung dengan jenis yang kedua ada beberapa pendapat yang membolehkan dan yang tidak membolehkan.
- Hukum bayi tabung jenis ketiga adalah diharamkan.
Daftar Pustaka
[1] Muhammad Samih Umar, Fiqh kontemporer wanita( Jakarta: Kencana: 2005) hal: 161
[2] Syarif Zubaidah, Al-Mawarid
[3] H Dimyati Salim, permainan buatan dan bayi tabung (Jakarta;2009) hlm; 47
[4] Ibid 48
[7] Abd. Salam Arief, “Pembaruan Pemikiran Hukum Islam, Antara Fakta dan Realita, Kajian Pemikiran Hukum Syaikh Mahmud Syaltut”, (Yogyakarta; LESFI : 2003), 165
[8] “Ahkamul Fuqaha Solusi Problematika Aktual Hukum Islam (Keputusan Muktamar, Munas, Konbes Nahdlatul Ulama’ (1926-1999)”, (Surabaya; Lajnah Ta’lif Wan Nasyr (LTN) NU dan Diantama, cet. 2, 2005), 489-491
[9] Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid 3. hal. 660
[10] ibid hal. 659
[11] UU No. 1 tahun 1974pasal 42
[12] Salim HS, “Bayi Tabung Dalam Bidang Pengobatan”, (Jakarta : Sinar Grafika, Cet-1 , 1993), 114
[13] Umar Sihab, “Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran” (Semarang; Dina Utama, 1996), 141.
[14] Salim HS, “Bayi Tabung Dalam Bidang Pengobatan”, (Jakarta: Sinar Grafika, Cet-1 , 1993)