Karya Ilmiah

MAKALAH FIQIH IBADAH DAN MUAMALAH “ZAKAT FITRAH”

MAKALAH

FIQIH IBADAH DAN MUAMALAH

“ZAKAT FITRAH”

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Disusun oleh     :

Nama          : Ela Hayati

NIM            : 42004046

Kelas          : HUKUM EKONOMI SYARI’AH

 

 

 

HUKUM EKONOMI SYARIAH

SEKOLAH TINGGI EKONOMI ISLAM (STEI SEBI) DEPOK

TAHUN AKADEMIK 2020/2021

 

 

Kata Pengantar

 

Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarakatuh

Bismillahirahmanirohim

Alhamdulillah Segala puji dan syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala Yang Maha Esa senantiasa kita ucapkan . Atas karunia-Nya  berupa nikmat iman dan kesehatan ini akhirnya penyusun bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “Zakat Fitrah“. Tidak lupa Sholawat serta Salam semoga tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad Shalallahu’alaihi Wa Sallam serta kepada para Sahabatnya,keluarganya dan kepada ummatnya sampai akhir zaman.

Dalam kesempatan ini, saya juga ingin mengucapkan terima kasih dengan tulus kepada seluruh pihak terutama Bapak Dosen mata kuliah yang telah membantu memberikan tugas makalah ini semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala senantiasa membalas kebaikan dengan berlipat ganda.

Kami sadar masih banyak kekurangan didalam penyusunan makalah ini, karena keterbatasan pengetahuan serta pengalaman kami. Kami harap kami begitu mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

 

Serang,  01 September 2022

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR ISI

 

Kata Pengantar. 2

DAFTAR ISI 3

BAB I 4

PENDAHULUAN.. 4

1.1 Latar Belakang. 4

1.2 Rumusan Masalah. 5

BAB II 5

PEMBAHASAN.. 5

  1. Pengertian Fitrah. 5
  2. Sejarah Zakat Fitrah. 6
  3. Menurut Pendapat Ulama. 9
  4. Kepada siapakah zakat fitrah itu diwajibkan?. 10
  5. Makna Zakat Fitrah. 11
  6. Takaran zakat fitrah dan ketentuannya. 11
  7. Apakah zakat fitrah itu dibagikan asnaf yang delapan?. 13
  8. Masalah-masalah yang mencul sehubungan zakat fitrah. 15

BAB III 16

PENUTUP. 16

Daftar Pustaka. 17

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1 Latar Belakang

 

Zakat merupakan suatu kewajiban bagi umat Islam yang digunakan untuk membantu masyarakat lain, menstabilkan ekonomi masyarakat dari kalangan bawah hingga kalangan atas, sehingga dengan adanya zakat umat Islam tidak ada yang tertindas karena zakat dapat menghilangkan jarak antara si kaya dan si miskin. Oleh karena itu, zakat sebagai salah satu instrumen negara dan juga sebuah tawaran solusi untuk menbangkitkan bangsa dari keterpurukan. Zakat juga sebuah ibadah mahdhah yang diwajibkan bagi orang-orang Islam, namun diperuntukan bagi kepentingan seluruh masyarakat.

Zakat merupakan suatu ibadah yang dipergunakan untuk kemaslahatan umat sehingga dengan adanya zakat (baik zakat fitrah maupun zakat maal) kita dapat mempererat tali silaturahmi dengan sesama umat Islam maupun dengan umat lain.

Oleh karena itu kesadaran untuk menunaikan zakat bagi umat Islam harus ditingkatkan baik dalam menunaikan zakat fitrah yang hanya setahun sekali pada bulan ramadhan, maupun zakat maal yang seharusnya dilakukan sesuai dengan ketentuan zakat dalam yang telah ditetapkan baik harta, hewan ternak, emas, perak dan sebagainya.

1.2 Rumusan Masalah

 

  1. Pengertian Fitra ?
  2. Sejarah zakat fitra ?

Dasar hukum zakat ?

Bagaimana pendapat ulama tentang zakat fitra ?

Kepada siapakah zakat fitrah itu diwajibkan ?

Makna zakat ?

Berapakah takaran dan ketentuan zakat fitra?

Apakah zakat fitra itu yang menerimanya asnaf yang delapan ?

Masalah-masalah yang muncul pada zakat fitra ?

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

1.           Pengertian Fitrah

 

Jika ditinjau dari segi etimologi, kata fitrah terambil dari kata fatr yang berarti belahan, dan makna ini lahir makna-makna lain yakni “penciptaan atau kejadian” selanjutnya dipahami juga bahwa fatr adalah bagian dan khalq (penciptaan) Allah. Fitrah manusia adalah kejadiannya sejak semula atau bawaan sejak lahirnya.

Kata “fatara” merupakan salah satu kata yang digunakan untuk menunjuk penciptaan alam, Tersusun dari huruf fa’-ta’-ra’ yang berarti fathu syai’n wa ibrazu (membuka sesuatu dan menampakkannya). Ungkapan orang Arab, seperti fataran-nabat dimaksudkan untuk menunjuk pada tanaman yang tumbuh membelah (membuka) tanah dimana ia tumbuh. Membuka juga berarti memulai sesuatu yang atau al-ibtida’ wal-ikhtira (yang menunjuk pada arti memulai sesuatu yang baru) yang biasa juga disebut “menciptakan atau menjadikan”.

Dalam Alquran kata fitrah dalam berbagai bentuknya disebut sebanyak 28 kali, 14  di antaranya berhubungan dengan bumi dan langit. Sisanya berhubungan dengan penciptaan manusia, baik dari sisi pengakuan bahwa penciptanya adalah Allah, maupun dari segi uraian tentang fitrah manusia. Sehubungan dengan itu Allah berfirman pada surat Ar rum ayat 30:

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِى فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ ٱللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“Maka hadapkanlah dirimu dengan lurus kepada agama itu, yakni fitrah Allah yang telah menciptakan manusia atas fitrah itu.Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.”

 

Pada ayat lain diterangkan kronologis peristiwanya:

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ بَنِىٓ ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا۟ بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَآ ۛ أَن تَقُولُوا۟ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَٰذَا غَٰفِلِينَ

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), Kami menjadi saksi”. (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)” (Q.s. Al-A’raf:172)

Peristiwa ini memberikan gambaran bahwa sejak diciptakan manusia itu telah membawa potensi beragama yang lurus, yaitu bertauhid (mengesakan Allah). Keadaan inilah yang disebut al-fitrah. Sehubungan dengan itu Nabi Muhammad ﷺ. bersabda:

“Setiap manusia dilahirkan atas fitrahnya, maka kedua orang tuanya yang menjadikan dia Yahudi, Nashrani, atau Majusi”. ( HR. Bukhari Muslim).

 

2.           Sejarah Zakat Fitrah

 

Selama 13 tahun hidup di Mekah sebelum hijrah, Nabi Muhammad ﷺ telah 13 kali mengalami Ramadhan, yaitu dimulai dari Ramadhan tahun ke-41 kelahiran Nabi yang bertepatan bulan Agustus 610 M, hingga Ramadhan tahun ke-53 dari kelahirannya yang bertepatan dengan bulan April tahun 622 M. Namun selama waktu itu belum disyariatkan kewajiban mengeluarkan zakat fitrah bagi kaum muslimin, dan Iedul fitrinya juga belum ada atau belum disyariatkan.

Setelah Nabi hijrah ke Madinah, dan menetap selama 17 bulan di sana, maka turunlah ayat 183-184 al-Baqarah pada bulan Sya’ban tahun ke-2 H, sebagai dasar disyariatkannya shaum bulan Ramadhan. Tak lama setelah itu, dalam bulan Ramadhan tahun itu pula mulai diwajibkan zakat kepada kaum muslimin, sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Umar:

“Dari Ibnu Umar, sesungguhnya Rasulullah saw. telah mewajibkan zakat fitrah pada bulan Ramadhan atas orang-orang sebesar 1 sha’ kurma, atau 1 sha’ gandum, wajib atas orang merdeka, hamba sahaya, laki-laki dan perempuan, dari kaum muslimin” . ( HR. Muslim ).

Zakat ini kemudian populer dengan nama zakat fitrah.[4]

  1. Dasar Hukum Zakat

Zakat hukumnya wajib bagi setiap muslim yang memiliki harta yang telah sampai nishab untuk dikeluarkan zakatnya.

خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْۗ اِنَّ صَلٰوتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ – ١٠٣

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (Qs. At Taubah : 103)

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ

“Dirikanlah sholat dan tunaikan zakat.“ (Q.S. An-nisa : 77)

 

Didalam hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Dari Ibnu Umar :

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى كُلِّ نَفْسٍ مِنْ الْمُسْلِمِينَ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ أَوْ رَجُلٍ أَوْ امْرَأَةٍ صَغِيرٍ أَوْ كَبِيرٍ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ

 

” Rosullullah ﷺ. mewajibkan zakat fitrah (berbuka) bulan ramadhan sebanyak satu sa’ (3,1 liter) kurma atau gandum atas tiap orang-orang muslim merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan.” (Riwayat bukhari dan muslim). Dalam hadist bukhari disebutkan,”mereka membayar fitrah itu sehari atau dua hari sebelum hari raya.”

Hadits diatas menjelaskan bahwa Rasulullah ﷺ mewajibkan zakat fitrah. Adapun nishabnya 1 sha’ (2,5kg)

Dengan kata-kata shagir (anak kecil) itu sudah tercakup didalamnya bayi yang masih berada didalam kandungan ibunya apabila usia kandungan itu telah mencapai umur 120 hari atau empat bulan.Sehubungan dengan itu Usman bin Affan membayar zakat fitrah bagi anak kecil,orang dewasa dan bayi dalam kandungan sebagaimana diriwayatkan Ibnu Abu Syaibah:

Sesungguhnya Usman bin Affan memberikan zakat fitrah dari bayi yang dikandung. Mushannaf Ibnu Abu Syaibah, II:432

Demikian pula diterangkan oleh Abu Qilabah:

Dari Abu Qilabah, ia berkata, “Adalah menjadi perhatian mereka (para sahabat) untuk mengeluarkan/memberikan zakat fitrah dari anak kecil, dewasa, bahkan yang masih dalam kandungan. H.r.Abdurrazaq, al-Mushannaf, III:319

Jadi Hukum Zakat ialah:

Mengeluarkan zakat hukumnya Fardhu ‘Ain bagi setiap orang Islam yang mampu dan kaya. Mengeluarkan zakat dilakukan tiap-tiap tahun sesuai dengan peraturan zakat oleh orang-orang yang mampu dan diberikan kepada orang-orang yang tidak mampu atau miskin dan orang-orang yang berhak menerimanya.

Pada zaman Abu Bakar Ash Shiddiq menjadi khalifah, orang-orang Islam yang membangkang terhadap kewajiban membayar zakat diperangi sampai mereka sadar dan patuh kembali membayar zakat.

 

 

4.     Menurut Pendapat Ulama

 

Ulama ahli hadits telah meriwayatkan hadits Rosulullah ﷺ. Dari ibnu Umar:

“Sesungguhnya Rosulullah saw. telah mewajibkan zakat fitrah pada bulan ramadhan satu sa’ kurma atau satu sa’ gandum kepada setiap orang yang merdeka, hamba sahaya, laki-laki, maupun perempun dari kaum muslimin.

Jumhur ulama’ Salaf dan Kholaf menyatakan bahwa makna farodho pada hadits itu adalah alzama dan awjaba, sehingga zakat fitrah adalah suatu kewajiban yang bersifat pasti. Juga karena masuk pada keumuman firman Allah: “Dan tunaikanlah oleh kamu sekalian zakat” (Qur’an,2:110;4:77;24:56)

Zakat fitrah oleh Rosululloh saw. Disebut dengan zakat, karenanya termasuk kedalam perintah Allah ﷻ. Dan karena sabda Rosululloh ﷺ. Farodho, biasanya dalam istilah syara’ dipergunakan makna tersebut. Telah menjelaskan pula Abu Aliah, Imam ‘Atho, dan Ibnu Sirin, bahwa zakat fitrah itu adalah wajib. Sebagaimana pula dikemukakan dalam Bukhori. Ini adalah madzhab Maliki,Syafi’i dan Ahmad.

Hanafi menyatakan bahwa zakat itu wajib bukan fardhu, fardhu menurut mereka segala sesuatu yang di tetapkan oleh dalil qath’i, sedangkan wajib adalah segala sesuatu yang di tetapkan oleh dalil zanni. Hal ini berbeda dengan imam yang tiga. Menurut mereka fardhu mencakup dua bagian: fardhu yang di tetapkan berdasarkan dalil qoth’i dan fardhu yang ditetapkan berdasar dalil zanni. Dari sini kita mengetahui bahwa hanafi tidak berbeda dengan mazhab yang tiga dari segi hukum, tetapi hanyalah perbedaan dalam istilah saja dan ini tidak menjadi masalah.

Maliki mengutip dari asyhab bahwa zakat fitrah itu hukumnya adalah sunnat muakkad. Ini adalah pendapat sebagian ahli zahir, dan ibnu lubban dari syafi’i. mereka mentakwilkan kalimat fardhu didalam hadits dengan makna qaddara/memastikan. Apa yang telah di kemukakan diatas, sesungguhnya telah membantah pendapat tersebut. Imam Nawawi setelah mengemukakan pendapat ibnu luban yang menyunatkannya, menyatakan bahwa pendapat tersebut adalah pendapat yang aneh dan munkar bahkan jelas salahnya.

Ishaq bin rahawih menyatakan bahwa kewajiban zakat fitrah adalah seperti ijma’ bahkan Ibnu Mundzir mengutip ijma’ ulama akan kewajibannya. Ibrahim bin Uliah dan Abu Bakr Asham berpendapat bahwa kewajiban zakat fitrah itu dinaskh dengan kefardhuan zakat. Keduanya beralasan dengan sebuah hadits riwayat Ahmad dan Nasa’i dari Qoyis bin Sa’ad bin Ubadah:

“Ia ditanya tentang zakat ftrah, ia menjawab: Rosulullah ﷺ. telah memerintahkan zakat fitrah, sebelum diturunkan kewjiban zakat. Ketika diturunkan kewajiban zakat, Rosul tidak menyuruh dan juga tidak melarang, akan tetapi harus melakukannya.”

 

 

5.     Kepada siapakah zakat fitrah itu diwajibkan?

 

Rosulullah ﷺ telah mewajibkan zakat fitrah pada bulan ramadhan pada orang yang merdeka, hamba sahaya, laki-laki, perempuan, anak-anak, orang dewasa, orang kaya, fakir atau miskin.

Empat mazhab sepakat bahwa zakat fitrah itu diwajibkan kepada setiap orang islam yang kuat, baik tua maupun muda. Maka bagi wali anak kecil dan orang gila wajib mengeluarkan harta serta memberikan kepada orang fakir, menurut Hanafi orang yang mampu ialah orang yang mempunyai harta yang cukup nishab atau nilainya lebih dari kebutuhannya. Menurut Syafii, Maliki, Hanbali orang yang mampu adalah orang yang mempunyai lebih dalam makanan pokoknya untuk dirinya dan untuk keluarganya pada hari dan malam hari raya dangan pengecualian kebutuhan tempat tinggal dan alat-alat primer, Maliki menambahkan bahwa orang yang mampu adalah orang yang bisa berhutang kalau dia mempunyai harapan untuk membayarnya. Menurut Imamiyah syarat wajib mengeluarkan zakat fitrah itu adalah baligh berakal dan mampu, maka harta anak kecil dan juga harta orang gila tidak wajib di zakati

Menurut Imam Syafi’i orang yanng mempuyai tanggungan ( menanggung nafkah orang lain) dan tidak munngkin meninggalkannya ia wajib menngeluarkan zakat fitrah untuk orang-orang yang berada dibawah tanggungannya seperti anak-anak yang masih kecil. Seseorang juga wajib mengeluarkan zakat fitrah untuk budak-budaknnya yang berada dibawah kekuasannya atau ditempat lain yang masih ada harapan kembali atau ysng tidak ada harapan untuk kembali ketangannya, dengan syarat ia mengetahui budak-budak tersebut masih hidup karena budak-budak tersebut statusnya masih dalam kepemilikannya Apabila seseorang mempunyai anak atau tanggungan baru dihari terkhir bulan ramadhan sebelum matahari tenggelam sebelum kelihatan hilal bulan syawal maka ia wajib mengeluarkan zakat fitrah dari anak yang baru lahir tersebut.

Apabila seseorang menghibahkan seorang budak kepada orang lain beberapa saat sebelum terlihat hilal bulan syawal (masih berada diakhir bulan ramadhan), maka yang wajib mengeluarkan zakat fitrah dari budak tersebut adalah orang yang mendapat hibah tersebut. Untuk orang gila dan anak yang masih kecil, maka yang wajib mengeluarkan zakat fitrahnya adalah walinya. Apabila seseorang memasuki awal bulan syawal(malam hari bulan syawal) dan mempunyai makanan yang cukup untuk dirinya dan untuk orang-orang yang berada dibawah tanggungannya, dan makanan tersebut juga cukup untuk dibayarkan sebagai zakat fitrah untuk dirinya dan untuk orang-orang yang berada dibawah tanggungannya, maka dalam hal ini ia wajib mengeluarkan zakat fitrah untuk dirinyna dan untuk orang-orang yang menjadi tanggungannya. Apabila makanan tersebut hanya cukup dimakan oleh dirinya dan orang-orang yang berada dalam tanggungannya ( tidak cukup membayar zakat walaupun untuk satu orang ), maka dalam hal ini ia wajib mengeluarkan zakat fitrah bagi dirinya dan bagi orang-orang yang menjadi tanggungannya.

6.     Makna Zakat Fitrah

 

Makna zakat fitrah, yaitu zakat yang sebab diwajibkannya adalah futur (berbuka puasa) pada bulan ramadhan disebut pula dengan sedekah. Lafadh sedekah menurut syara’ dipergunakan untuk zakat yang diwajibkan, sebagaimana terdapat pada berbagai tempat dalam qur’an dan sunnah. Dipergunakan pula sedekah itu untuk zakat fitrah, seolah-olah sedekah dari fitrah atau asal kejadian, sehingga wajibnya zakat fitrah untuk mensucikan diri dan membersihkan perbuatannya.

Dipergunakan pula untuk yang dikeluarkan disini dengan fitrah, yaitu bayi yang di lahirkan. Yang menurut bahasa bukan bahasa arab dan bukan pula mu’arab (dari bahasa lain yang dianggap bahas arab) akan tetapi merupakan istilah para fuqoha’.

Zakat fitrah diwajibkan pada kedua tahun hijrah, yaitu tahun diwajibkannya puasa bulan ramadhan untuk mensucikan orang yang berpuasa dari ucapan kotor dan perbuatan yang tidak ada gunanya, untuk memberi makanan pada orang-orang miskin dan mencukupkan mereka dari kebutuhan dan meminta-minta pada hari raya.

Zakat ini merupakan pajak yang berbeda dari zakat-zakat lain, seperti memiliki nisab, dengan syarat-syaratnya yang jelas, pada tempatnya. Para fuqoha’ menyebut zakat ini dengan zakat kepala, atau zakat perbudakan atau zakat badan. Yang dimaksud dengan badan disini adalah pribadi, bukan badan yang merupakan dari jiwa dan nyawa.

7.     Takaran zakat fitrah dan ketentuannya

 

Dari nafi’ dan ibnu umar, “bahwasannya rosulullah saw. Mewajibkan zakat fitrah ramadhan pada manusia( kaum muslimin ), yaitu satu sha’ tamar atau satu sha’ sya’ir (gandum). Imam Syafi’i berkata: “sesungguhnya Abu Sa’id al Khudhri berkata,

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ بْنِ قَعْنَبٍ حَدَّثَنَا دَاوُدُ يَعْنِي ابْنَ قَيْسٍ عَنْ عِيَاضِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ

كُنَّا نُخْرِجُ إِذْ كَانَ فِينَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ كُلِّ صَغِيرٍ وَكَبِيرٍ حُرٍّ أَوْ مَمْلُوكٍ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ

فَلَمْ نَزَلْ نُخْرِجُهُ حَتَّى قَدِمَ عَلَيْنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ أَبِي سُفْيَانَ حَاجًّا أَوْ مُعْتَمِرًا فَكَلَّمَ النَّاسَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَكَانَ فِيمَا كَلَّمَ بِهِ النَّاسَ أَنْ قَالَ إِنِّي أَرَى أَنَّ مُدَّيْنِ مِنْ سَمْرَاءِ الشَّامِ تَعْدِلُ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ فَأَخَذَ النَّاسُ بِذَلِكَ قَالَ أَبُو سَعِيدٍ فَأَمَّا أَنَا فَلَا أَزَالُ أُخْرِجُهُ كَمَا كُنْتُ أُخْرِجُهُ أَبَدًا مَا عِشْت

“Dizaman Nabi ﷺ. kami mengeluarkan zakat fitrah berupa makanan pokok satu sha’, yaitu satu sha’ keju ( susu kering ) atau satu sha’ zabit ( anggur kering ), atau satu sha’ tamar (kurma kering ) atau satu sha’ gandum. Demikianlah kami mengeluarkan zakat fitrah, sampai pada suatu hari Muawiyah datang berhaji atau berumroh, lalu ia berkuthbah dihadapan kaum muslimin. Diantara isi khutbahnya adalah, ‘aku berpendapat bahwa dua mud samrah yang berasal dari negeri syam adalah sebanding dengan satu sha’ tamar. Maka kaum muslimin mengikuti apa yang di ucapkan oleh mu’awiyah.”

Imam Syafi’i berkata: biji gandum tidak dikeluarkan zakatnya kecuali satu sha’ saja. Menurut sunnah rosul, zakat fitrah adalah berupa makanan pokok yang biasa dimakan oleh seseorang, makanan yang harus di keluarkan sebagai zakat fitrah adalah makanan yang paling sering dimakan seseorang. Jika seseorang mendapat pinjaman berupa makanan dari orang lain, kemudian pinjaman tersebut habis pada malam satu syawal, maka ia tidak wajib mengeluarkan zakat fitrah.

Jika terdapat pada suatu negeri yang makanan pokoknya bukan gandum maka dapat dikiaskan dengan gandum, contoh padi ukurannya dapat disamakan dengan gandum dan menjadi ukuran 2,5 KG seperti yang sudah umum di masyarakat. Ketentuan zakat fitrah yang paling mendasar adalah bahan makanan pokok di indonesia sendiri selain itu terdapat banyak makanan pokok seperti: sagu, ketela atau tepung yang berasal dari ketela. Satu sho’ gandum(Hinthoh) versi Imam Abu Nawawi:1862,18Gr, satu sho’ beras putih: 2719,19Gr,Satu sho’ dalam volume versi Imam Syafii, hambali dan maliki: 188,712Lt / kubus berukuran + 14,65Cm.

Satu sho’ itu 1/6 ltr mesir, yaitu 11/3  wadah mesir. Sebagaimana dinyatakan dalam Syarah Dardir dan yang lain. Ia sama dengan 2167 gram (hal ini berdasarkan timbangan dengan gandum). Apabila keadaan ini timbangan 1 sho’ gandum, maka mereka menyatakan, bahwa makanan selain gandum itu lebih ringan dari padanya, sehingga apabila yang selain gandum itu dikeluarkan, timbangannya sama dengan gandum, tentu akan lebih dari 1 sho’. Apabila pada suatu daerah makanan utamanya lebih berat daripada gandum, seperti beras misalnya maka wajib untuk menambah dari ukuran tersebut, sebagai imbangan dari adanya perbedaan itu. Atas dasar itu, maka sebagian ulama ada yang berpegang teguh pada takaran, bukan pada timbangan. Karena biji-bijian itu ada yang ringan dan ada pula yang berat.

Menurut Imam Nawawi :” telah menjadi sulit membuat batasan 1 sho’ dengan timbangan, karena 1 sho’ yang dikeluarkan di zaman Rosululloh ﷺ. adalah takaran yang diketahui, dan berbeda-beda ukuran timbangannya, karena perbedaan benda yang dikeluarkannya, seperti biji-bijian, kacang-kacangan, dan yang lainnya.

Dibolehkan lebih dari satu sho’ karena sesungguhnyaa zakat itu bukanlah urusan ibadah semata, seperti dan segala yang berhubungan dengannya, seperti dzikir dan tasbih.

Adanya tambahan pada zakat dari sekedar kewajiban adalah tidak mengakibatkan dosa, bahkan merupakan perbuatan terpuji, sebagaimana yang dinyatakan Quran:

“barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya.”

8.     Apakah zakat fitrah itu dibagikan asnaf yang delapan?

 

Pendapat yang masyhur dari mazhab Syafi’i bahwa wajib menyerahkan zakat fitrah kepada golongan orang yang berhak menerima zakat yaitu Asnaf yang delapan. Mereka wajib diberi bagaian dengan rata. Dan ini dalah mazhab Hazm. Apabila zakat fitrah itu dibagikan sendiri, maka gugurlah bagian petugas, karena memang tidak ada dan gugur pula bagian muallaf karena urusan mereka hanyalah diserahkan kepada penguasa.

۞ إِنَّمَا ٱلصَّدَقَٰتُ لِلْفُقَرَآءِ وَٱلْمَسَٰكِينِ وَٱلْعَٰمِلِينَ عَلَيْهَا وَٱلْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِى ٱلرِّقَابِ وَٱلْغَٰرِمِينَ وَفِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَٱبْنِ ٱلسَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِّنَ ٱللَّهِ ۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang di bujuk hatinya, untuk(memerdekakan) budak, orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang di wajibkan Allah; Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijakasan.”(QS. At-Taubat:60)

Allah telah mejelasakan delapan golongan yang berhak menerima zakat. Yaitu:

  • Fakir: orang yang hanya mampu memenuhi kurang dari separoh kebutuhanya.
  • Miskin: orang yang mampu memenuhi lebih dari separoh kebutuhanya, namun ia belum mampu memenuhi kebutuhannya secara menyeluruh, maka ia diberi zakat untuk beberapa bulan kebutuhanya.
  • Amil Zakat: orang yang ditugaskan oleh penguasa (pemerintah) untuk mengumpulkan zakat dari orang yang membayar zakat.mereka di beri upah yang layak sesuai dengan pekerjaan mereka.
  • Para muallaf yang dibujuk hatinya: adalah orang orang yang baru memeluk islam, mereka diberi zakat agar hti mereka lunak menerima islam dan agar keimanan dihati mereka tetap teguh
  • Zakat juga di berikan untuk memerdekakan budak dan membebaskan tawanan perang yang tertawan oleh pihak musuh.
  • Orang-orang yang berhutang: mereka adalah orang-orang yang terbebani hutang mereka di beri zakat untuk melunasi hutang mereka dengan syaratnya harus beragama islam, tidak mampu melunasi hutang, dan tidak berhutang untuk membiayai kemaksiatan.
  • Fisabilillah: mereka adalah para mujahid yang berperang dengan suka rela tanpa mendapat gaji dari pemerintah, mereka di beri zakat untuk diri mereka sendiri atau untuk membeli senjata.
  • Orang yang sedang dalam pejalanan yaitu para musafir yang kehabisan bekal untuk melanjutkan perjalananya, maka ia diberi zakat sekedar kebutuhanya, sehingga ia sampai ke tujuanya.

Ibnu Qayyim membantah pendapat ini dan berkata: “Pengkhususan zakat fitrah bagi orang-orang miskin, merupakan hadiah dari Nabi ﷺ. Nabi tidak pernah membagikan zakat fitrah sedikit-sedikit kepada golongan yang delapan, tidak pernah pula menyuruhnya, tidak dilakukan oleh seorangpun dari para sahabat dan orang-orang sesudahnya.bahkan salah satu pendapat dari mazhab kami adalah tidak boleh menyerahkan zakat fitrah, kecuali hanya kepada golongan miskin saja. Pendapat ini lebih kuat dibanding pendapat yang mewajibkan pembagian zakat fitrah pada asnaf yang delapan.

Menurut mazhab Maliki, sesungguhnya zakat fitrah itu hanyalah diberikan kepada golongan fakir dan miskin saja. Tidak pada petugas zakat, tidak pada orang yang muallaf, tidak dalam pembebasan perbudakan, tidak pada orang yang berutang, tidak untuk orang yang berutang, tidak untuk orang yang berperang dan tidak pula untuk ibnu sabil yang kehabisan bekal untuk pulang, bahkan tidak diberi kecuali dengan sifat fakir. Apabila di suatu negara tidak ada orang fakir, maka di pindahkan kenegara tetangga dari ongkos orang mengeluarkan zakat, bukan diambil dari zakat, supaya tidak berkurang jumlahnya.

Dalam hal ini jelas ada tiga pendapat:

  1. Pendapat yang mewajibkan di bagikan pada asnaf yang delapan, dengan rata ini adalah pendapat yang masyhur dari golongan Syafi’i.
  2. Pendapat yang memperkenankan membagikannya pada asnaf yang delapan dan mengkhususkanya kepada golongan fakir. Ini adalah pendapat jumhur, karena zakat fitrah adalah zakat juga, sehingga masuk dalam keumuman sebagaimana pada surat at-Taubat ayat:60
  3. Pendapat yang mewajibkan mengkhususkan kepada orang-orang yang fakir saja, ini adalah pendapat golongan Maliki, salah satu dari pendapat Imam Ahmad, di perkuat oleh Ibnu Qoyyim dan gurunya, yaitu Ibnu Taimiyah. Pendapat ini di pegang pula oleh Imam Hadi, Qashim dan Abu Tholib,dimana mereka mengatakan bahwa zakat fitrah itu hanyalah di berikan kepada fakir miskin saja, tidak kepada yang lainnya dari asnaf yang delapan, berdasarkan hadist: “Zakat fitrah adalah untuk memberi makan pada orang-orang miskin.” Dan hadis: “Cukupkanlah mereka di hari raya ini.”

Hadist-hadist di atas menunjukkan bahwa maksud utama zakat fitrah adalah mencukupkan orang-orang fakir pada hari raya, jika orang orang fakir itu ada, tetapi ini tidak berarti mencegah diberikanya kepada kelompok lainnya, sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan, sebagaimana penjelasan Nabi tentang zakat harta, bahwa zakat itu diambil dari orang kaya dan diberikan kepada orang fakir. Rosulullah ﷺ. tidak melarang, zakat itu diberikan kepada asnaf lainya, sebagaimana yang terdapat dalam surat at-Taubat ayat 60.

 

 

9.     Masalah-masalah yang mencul sehubungan zakat fitrah.

 

Banyak sekali masalah yang muncul ketika membayar zakat antara lain: Mengeluarkan harga zakat fitrah menurut imam yang tiga adalah tidak diperkenankan, baik pada zakat fitrah maupun pada zakat-zakat lainnya, Ibnu Umar berpendapat bahwa menyerahkan harganya itu bertentangan dengan sunnah Rosul demikian juga Ibnu Hazm berpendapat bahwa menyerahkan harganya itu sama sekali tidak boleh karena hal itu berbeda dengan apa yng diwajibkan Rasulullah ﷺ.

Imam at-Tsuri, Abu Hanifah dan ashabnya berpendapat bahwa mengeluarkan harganya itu diperbolehkan. Hal ini diriwayatkan pula dari Umar bin Abdul Azis serta Hasan Basri, diantara alasan yang memperkuat pendapat ini adalah sabda Rosulullah ﷺ. “cukuplah orang-orang miskin pada hari raya tidak meminta-minta.” Mencukupi ini juga bisa dengan harganya, bisa pula dengan makanannya, kebolehan mengeluarkan harga itu sejak di tunjukkan sejak dari dahulu, yaitu para sahabat memperbolehkan mengeluarkan setengah sha’ gandum, karena di anggap sama nilainya dengan satu sha’ kurma. Beberapa masalah yang berhubungan dengan penyerahan harga:

Yang di maksud dengan menyerahkan harga adalah harga gandum, syai’ir, atau kurma.

Tidak boleh mengelurkan harga dari makanan yang ada nasnya, dicampur antara satu jenis dengan jenis lainya.

Orang yang tidak mampu mengeluarkan zakat fitrah sampai melewati hilal bulan syawal, kemudian sehari sesudahnya, maka dalam hal ini ia tidak wajib mengeluarkan zakat (imam syafii).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

 

Dalam Alquran kata fitrah dalam berbagai bentuknya disebut sebanyak 28 kali, 14  di antaranya berhubungan dengan bumi dan langit. Sisanya berhubungan dengan penciptaan manusia, baik dari sisi pengakuan bahwa penciptanya adalah Allah, maupun dari segi uraian tentang fitrah manusia

Mengeluarkan zakat fitra hukumnya Fardhu ‘Ain bagi setiap orang Islam yang mampu dan kaya. Mengeluarkan zakat dilakukan tiap-tiap tahun sesuai dengan peraturan zakat oleh orang-orang yang mampu dan diberikan kepada orang-orang yang tidak mampu atau miskin dan orang-orang yang berhak menerimanya.

Jumhur ulama’ Salaf dan Kholaf menyatakan bahwa makna farodho pada hadits itu adalah alzama dan awjaba, sehingga zakat fitrah adalah suatu kewajiban yang bersifat pasti.

 

 

Daftar Pustaka

 

  1. Jamali Sahrodi, Idi Warsah Filosfi Jiwa Al-Ghazali dan Sigmund Frend (Studi Komparatif Efistemologi Islam dan Barat), 2010, penerbit: LP2 STAIN CURUP Jl. AK. Gani Curup kel, Dusun Curup. Rejang Lebong – Bengkulu

Abdul Hamid, fiqh Ibadah, 2009, penerbit: LP2 STAIN CURUP Jl. AK. Gani Curup kel, Dusun Curup. Rejang lebong

http://juraganmakalah.blogspot.com/2013/03/zakat-fitrah.html

Muchtar Saefullah Amin, Sejarah dan Syariat Zakat Fitrah.

http://indonesia-admin.blogspot.com/2010/02/makalah-zakat-fitrah.html

https://mufidatulmahmudah.wordpress.com/2014/06/17/makalah-fiqih-zakat-maal-dan-zakat-fitrah/

http://www.belajarfiqih.com/makalah-zakat-fitrah/

http://iralfauzi.blogspot.com/2015/06/makalah-zakat-fitra.html

Facebook Comments

Pesantren MAQI

Lembaga Bahasa Arab dan Studi Islam

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.