Karya Ilmiah

Deskripsi Mazhab Liberal Terhadap Maqoshid Syariah

A. Mazhab Liberalisme

Mazhab ini bertentangan dengan yang pertama, yang terlalu menekankan pemahaman akal daripada wahyu dalam memahami teks-teks syar’i. Mengenai maqhasid, mazhab ini menegaskan bahwa maqashid dan maslahah adalah yang utama, sehingga jika makna teks syari bertentangan dengan maslahah manusia, maka maslahah akan lebih diutamakan daripada makna teks. Madrasah ini sangat terkenal dengan teori “Taqdêmu al-maÎlahah Ñala al-NaÎ Ñinda TaÑarrudihima” Dengan berpegang teguh pada maqashid dalam segala pemikirannya, pesantren ini jarang menggunakan fiqh dan ushul fiqh. Mungkin berdasarkan filosofi (pemikiran) di atas, dapat dilihat beberapa pemikirannya yang dinilai cukup kontroversial, terutama untuk tujuan merubah hukum keluarga yang dianggap tidak sesuai dengan maslahah ammah, mencegah perceraian, melarang poligami, menggugat perkawinan beda agama. hukum dan membolehkan wanita muslim menikah dengan pria non muslim (perkawinan beda agama), di sekolah kasus Warisan seimbang dengan rasio putra dan putri.

 

B. Karakteristik Landasan Pemikiran Mazhab Liberal

a. Mengutamakan pemahaman akal atas wahyu

Aliran ini berpendapat bahwa dalam memahami nashnash syara’ akal adalah alat yang utama yang digunakan dan cenderung mengeyampingkan makna dzahir nash itu sendiri. Dengan berargumen bahwa allah SWT maha kaya atas mahluknya dan memberikan anugerah berupa akal sebagai media dalam mewujudkan kehidupan dan kemaslahatan.

Dan jika akal kita sudah mengetahui hakikat maslahah, maka dengan melihat setiap persoalan kita akan menemukan sesuatu yang baik dan bermanfaat. Sebisa mungkin kita berusaha mencapai maslahah meski harus menolak teks Alquran dan kisah Nabi SAW. Karena Al Quran dan Hadits sudah pasti bertujuan untuk menghasilkan kemaslahatan. Dan diturunkannya Al-Qur’an tidak dimaksudkan untuk menjadi beban bagi manusia dan menimbulkan penderitaan, tetapi Al-Qur’an diturunkan justru demi kemudahan, kelegaan dan kelegaan bagi umat manusia.

Mereka melandaskan pendapatnya dengan firman-firman allah SWT sebagai berikut ini:

يُرِيۡدُ اللّٰهُ بِکُمُ الۡيُسۡرَ وَلَا يُرِيۡدُ بِکُمُ الۡعُسۡرَ وَلِتُکۡمِلُوا الۡعِدَّةَ وَلِتُکَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰٮكُمۡ وَلَعَلَّکُمۡ تَشۡكُرُوۡن

Artinya : “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”. (QS Al-baqoroh 185 ).

 

b. Klaim Atas Ijtihad Umar Bin Khatab Yang Mengeyampingkan Nash Atas Nama Maslahah

Untuk mendukung argumentasinya, kecenderungan ini bersandar pada model ijtihad yang diilustrasikan oleh Khalifah Umar bin Khatab ketika merumuskan hukum. Mereka menganggap ijtihad Umar sebagai tindakan Umar yang mengutamakan kepentingan sebagai acuan utama ketika kehancuran berbenturan dengan kesejahteraan manusia.

Dalam sebuah contoh kasus hukum bahwasannya umar pernah mengenyampingkan nash-nash al-Quran ketika berbenturan dengan maslahah Umar tidak memberikan zakat kepada muallaf, padahal perintah ini telah ada ketentuannya dalam alQuran:

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orangorang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (Al-Taubah: 60)

 

c. Maqshid Syariah kritik terhadap Liberalitas

  1. Kelompok liberal mendahulukan konteks sedangkanan non-liberal bervariasi ada yang yang mendahulukan teks, ada yang mendahulukan teks tapi menggunakan akal, ada yang seimbang antara teks dan konteks. Namun non-liberal masih dalam domain worldview Islam, sedangkan liberal telah dihegemoni oleh wordlview Barat postmodern.

 

  1. Nampaknya, kerangka berfikir kaum liberalis ini dibangun atas dua argumen. Pertama, bahwa al-Qur’an adalah respon spontan terhadap kondisi masyarakat ketika itu, dan bahwa hukum-hukum fiqh seperti yang disebutkan di atas adalah produk ijtihad ulama abad pertengahan. Kedua, bahwa tujuan ditetapkannya hukum syari’ah itu bukan sekedar untuk memenuhi formal legalistiknya saja tetapi lebih jauh dari pada itu, yaitu untuk menciptakan mashlāhah kepada umat manusia.

Kaum liberal yang memperjuangkan maqāṣid syarī’ah justru menetang penerapan syari’ah, sedangkan penerapan syariah adalah cara untuk mengembalikan dan mereliasasikan kembali prinsip maqāṣid.

Liberalis hanya ingin mengambil maqāṣid-nya dan meninggakan syariahnya. Tentu hal ini sangat ambigu. Yang menjadi pertanyaan, apakah bisa maqāṣid bisa didapatkan sementara perintah pelaksaan syariah tidak dilaksanakan? Mungkin saja maslāhah bisa didapatkan dengan tanpa penerapan syariah, tapi apakah bisa sesempurna jika syariah diterapkan?

Sebagai contoh ambiguitas mereka adalah ejekan mereka (liberalis) terhadap hukum hudud. Seperti diterangkan di atas kaum liberalis menolak hukum hudud dengan alasan hukum ini sudah outdate, tidak dapat merealisasikan apa yang menjadi tujuan utama dari hukum tersebut, yaitu memberikan ketentraman dan keamanan kepada harta dan jiwa, serta masyarakat.

Sebagai contoh :

“apabila keluarga yang terbunuh tidak merasa puas dengan hukuman yang dijatuhkan terhadap pembunuh maka akan timbul kekecewaan, dan kekecewaan akan mendorong reaksi yang tidak rasional. Orang tersebut mungkin akan melakukan pembalasan pembunuhan, mungkin terhadap si pelaku atau kepada keluarga terdekat si pembunuh. Apa bila pihak yang terbunuh juga tidak merasakan keadilan, maka dia juga akan melakukan tindakan yang sama sehingga akan terjadi escycling pembunuhan, dan pada akhirnya akan menciptakan ketakutan di tengah-tengah masyarakat “.

Oleh: Sahla azkia_STEI SEBI

Facebook Comments

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.