Keutamaan Orang yang Berilmu
Redaksi Hadis
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي أُوَيْسٍ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا قَالَ الْفِرَبْرِيُّ حَدَّثَنَا عَبَّاسٌ قَالَ حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ هِشَامٍ نَحْوَهُ
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan”. Berkata Al Firabri Telah menceritakan kepada kami ‘Abbas berkata, Telah menceritakan kepada kami Qutaibah Telah menceritakan kepada kami Jarir dari Hisyam seperti ini juga.[1]
Terjemah Mufrodat
يَقْبِضُ : menyerap , menggenggam , memegang , menangkap , merebut , menghentikan , menawan , menjaga
انْتِزَاع : pencabutan, penangkapan, penyambaran, perenggutan
الْعِبَادِ : hamba-hamba
يَبْقِيْ : tinggal, tetap, yang terakhir, kelanjutan
اتَّخَذَ : mengambil , menggunakan , penggunaan , mengasumsikan , mengadopsi
رُءُوس : adalah kepala ( ketua , pemimpin )
جُهَّال : bodoh, tak berpendidikan, yang tidak tahu
سَأَلَ . : bertanya , menanyakan ; 2. meminta , mengajukan permintaan , memohon
أفْتَى : mengeluarkan pendapat atau nasehat hukum , berfatwa
ضَلَّ : tersesat , kesasar , nyasar , hilang
أضَلَّ : menyesatkan[2]
Asbabul Wurud
Imam Ahmad dan At-Thabrani meriwayatkan dari hadis Abu Umamah, berkata: “Selesai melakukan haji wada‟ nabi bersabda: “Ambilah ilmu sebelum ia ditarik atau diangkat!” Seorang Arab badawi bertanya: “Bagaimana ilmu itu diangkat?” Beliau bersabda: “Ketahuilah, sesungguhnya hilangnya ilmu adalah hilangnya ulama”.[3]
Dalam riwayat lain dari Abu Umamah, orang itu bertanya: “bagaimana mungkin ilmu itu terangkat, padahal ditengah-tengah kami selalu ada mushaf (al- Qur‟an), sedangkan kami mempelajarinya dan kami mengetahuinya, serta kami ajarkan pula kepada anak-anak dan istri-istri kami, demikian pula kepada para pelayan kami.” Rasulullah mengangkat kepalanya. Dan beliau bersabda: “Inilah Yahudi dan Nasrani dikalangan mereka ada mushaf, tetapi mereka tidak mempelajarinya, tatkala para nabi datang kepada mereka.
Ibnu Hajar berkata: “hadis masyhur dari riwayat Hisyam. Dan dalam riwayat lain bunyinya:”Sehingga tak ada lagi hidup seorang alim pun.” Ini menunjukan betapa mulianya kedudukan ulama dalam pandangan agama. Kematian ulama berarti suatu kerugian bagi umat. Maka kemuliaan ilmu dan kepentingannya harus dirasakan oleh seseorang yang menuntutnya, dan orang yang mengamalkannya maka hidupkan ilmu-ilmu Islam dengan memelihara kitabullah dan sunah Rasul-Nya serta berusaha mengamalkannya, agar ia tetap menjadi teladan dan panutan. Jangan tanyakan perihal kepada orang bodoh, karena bila mereka berfatwa tanpa mengerti ilmu yang sebenarnya, mereka justru akan menyesatkan (umat) dari jalan lurus.
Syarah Turotsi
Imam Malik mengemukakan tentang keutamaan ilmu dan ulama dalam kitabnya Al Muwatha bahwa sanya ilmu bukanlah karena banyak menghafal riwayat hadis, bahkan ilmu adalah Nur yang dinyalakan Allah dalam hati seseorang yang dikehendaki-Nya.Sufyan Tsauri berpendapat mengenai tentang ciri-ciri Ulama menurutnya terdapat tiga macam: Alim yang mengenal Allah dan mengerjakan perintah Allah, Alim mengenal Allah tetapi tidak mengenal perintah Allah dan Alim yang mengenal perintah tetapi tidak mengenal Allah.
Adapun alim yang mengenal Allah dan mengenal perintah Allah, ialah yang takut kepada Allah dan mengenal batas-batas dan perintah serta larangan, alim yang menmgenal Allah tetapi tidak mengenal perintah Allah ialah yang takut kepada Allah tetapi tidak melaksanakan perintah Allah. Alim yang mengenal perintah Allah tetapI tidak mengenal Allah ialah yang sangat tahu batas dan perintah Allah tetapi tidak ada rasa takut kepada Allah.[4]
Dapat dikatakan bahwa orang alim yang mengenal perintah tetapi tidak mengenal Allah inilah yang banyak sekarang. Sehingga nur (cahaya) itu di cabut oleh Allah dari dirinya, sehingga pengetahuannya dari hal halal dan haram, hanyalah laksana pengetahuan sekedar saja yang dapat memutar-mutar ayat sebagaimana yang disenangi hati orang yang menanyakan. At-Thayyibi berpendapat: Seorang ulama yang selalu berusaha keras menjauhi segala yang haram dengan ilmunya, lebih berat bagi syaitan untuk menggodanya dari pada seribu kali ahli ibadah yang giat beribadah, akan tetapi tidak tahu apa yang berkaitan dengan ibadahnya. Hal itu disebabkan syaitan setiap kali membuka pintu hawa nafsu kepada orang banyak dan menjadikan syahwat indah dalam hati mereka. Oleh karena itu orang yang memiliki ilmu atau faqih ia tidak akan tertipu Ali bin Abi Thalib berkata: barang siapa memandang kepada wajah orang alim dengan sekali pandang, sehingga ia gembira dengannya. Maka Allah menciptakan dari pandangan itu seorang malaikat yang memohon ampun baginya. Pandangan wajah ke arah orang yang alim adalah ibadah dan menimbulkan cahaya dalam pandangan dan cahaya di dalam hati.[5]
Syarah Kontemporer
- Hasbi As-Shidiqi
Dalam menanggapi Surah Fâthir ayat 28, Hasbi As-Shidiqi dalam tafsir Qur’anul Majid, menyatakan bahwa orang yang takut kepada Allah lalu memelihara diri dari azab-Nya dengan jalan mengerjakan ketaatan, hanyalah orang yang mengetahui kebesaran kodrat Allah dengan ilmunya. Sebab orang yang mengetahui bahwa Allah itu maha berkuasa tentu meyakini bahwa Tuhan akan menimpakan siksa-Nya kepada orang yang durhaka, karena itulah timbul rasa ketakutannya kepada siksa, karena Allah itu maha keras siksa-Nya terhadap orang yang mengkufuri-Nya dan maha pengampun terhadap dosa-dosa orang yang mengimaninya dan mentaati- Nya.
Menurut Hasbi As-Shidiqi bahwa ulama itu adalah mereka yang takut dengan Allah dan membaca kitab Allah dengan ilmunya dengan menghafalnya, mempelajarinya dan mengajarkannya. Selain itu juga mengamalkan isi kandungannya, terutama menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang munkar, mengerjakan shalat dengan khusuk dan mengeluarkan zakat baik dalam keadaan sirr (dalam keadaan sembunyi-sembunyi) atau dengan terang-terangan bila dalam keadaan menghendakinya dan mereka berlaku tulus ikhlas dalam hidupnya. Mereka tidak mengharap sesuatu, kecuali dari Allah mereka hanya mengharap perniagaan yang tidak rugi dan pahala yang tiada habis-habisnya.Mereka berbuat seperti itu supaya Allah menyempurnakan pahala amalnya serta menambahkan keutamaanya. Sesungguhnya Allah maha mengampuni dosa dan patutnya semua hamba mensyukuri apa yang telah diberikan Allah kepada hamba- Nya.[6]
- HAMKA
Dalam mengomentari surah Fâthir ayat 28, pendapat Hamka tentang keutamaan ilmu dan ulama bahwa orang yang bisa merasakan takut kepada Allah, ialah orang-orang yang berilmu. Di pangkal ayat digunakan kata “Innamâ” yang menurut ahli-ahli ilmu nahwu mengatakan bahwa huruf Innamâ itu adalah adâtu hasri yang artinya “alat untuk pembatas” sebab itu artinya yang tepat adalah “tidak lain hanyalah orang-orang yang berilmu jua yang kan merasa takut kepada Allah. Kalau ilmu tidak ada, tidaklah orang akan merasa takut kepada Allah, dan jelas bahwa ilmu itu adalah luas sekali. Alam disekeliling kita, sejak dari air hujan yang turun dari langit menghidupkan bumi setelah mati, sampai kepada gunung-gunung yang menjulang tinggi, binatang melata, ini semua mengandung ilmu dengan berbagai cabangnya pula sebagai geografi, etnologi, ilmu-ilmu sosial (sosiologi), polotik, kebudayaan, serta serta antropologi dan banyak lain lagi halnya. Ibnu Abbas mengatakan “Alim sejati diantara hamba arahman ialah yang tidak mempersekutukan Allag dengan apapun, dan yang halal tetap halal dan yang haram tetap haram, serta memelihara perintah-Nya dan yakin bahwa dia akan bertemu dengan sang pencipta (Allah). Dengan demikian jelas pula bahwa ulama bukanlah sempit hanya sekedar orang yang tahu akan hukum-hukum agama saja secara terbatas, dan bukan juga orang yang mengaji kitab fiqih, dan bukan pula ditentukan oleh jubah dan sorban besar[7].
[1] Bukhori , Shohih al-Bukhari, Andalusia: Baitul Abkar, tth. Kitab Ilmu, hal. 187
[2] Diakses dari https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/ , pada tanggal 21 oktober 2021, pukul 23.06
[3] Ibnu Hamzah al Husaini, Latar Belakang Historis Timbulnya Hadis- Hadis Rasul ( Jakarta: kalam mulia, 1996), h. 55.
[4] Imam Ghazali, Mukasyafatul Qulub (Surabaya: Darul Fikri, Tth), h. 288.
[5] Muhammad bin Umar An Nawawi, Tanqihul Qaul al-Hatsîts Fi Syarhi Lubabil Hadis, ( Surabaya: Mutiara Islam, 1995), h. 27.
[6] M. Habsy as-shidqi, Tafsir Qur’anul Majid (An-Nur), (Semarang: Pustaka Kizley Putra, 2000), Juz 22, h. 3384.
[7] Hamka, Tafsir Al-azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas 1988), Juz 22, h. 242-243.
Penulis: Paisal Ahmad Akbar (Staff Pengajar Pesantren MAQI)