Bersyukur dan bersabar adalah kunci kebahagiaan
Hidup bagaikan roda kendaraan yang terus berputar, terkadang di atas, dan sesekali di bawah. Suka dan duka yang dirasakan setiap manusia saling bertautan, sedih dan gembira silih berganti. Dan begitu pula dengan kehidupan seorang mukmin yang takan terlepaskan dalam hidupnya sebuah ujian baik sesuatu yang bersifat baik maupun buruk.
Bahkan dalam suatu riwayat menyebutkan bahwa Rasulullah SAW mengagumi perihal sikap orang-orang beriman pada masanya :
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ رواه مسلم
Artinya: “Sungguh mengagumkan perihal seorang yang beriman. Semua urusannya menjadi baik, dan hal itu tidak terjadi pada seorangpun kecuali orang beriman. Jika mendapatkan kegembiraan, ia bersyukur, dan hal itu adalah suatu kebaikan baginya. Dan jika mendapatkan musibah, ia bersabar, dan hal itu pun adalah suatu kebaikan baginya”. (H.R. Muslim).
Kebahagiaan merupakan asas tunggal yang senantiasa dicari oleh setiap mahluk hidup dan tentunya setiap dari kita pun tentu ingin mendapatkannya, hidup bersama keluarga, karib kerabat sahabat maupun teman dengan penuh kebahagiaan.
Apapun bentuk kebahagiaan yang dimaksudkan tidak akan terwujud ataupun dinikmati tanpa ada rasa syukur dan sabar, sebagaimana halnya sikap orang-orang beriman yang Rasulullah SAW puji tersebut. Bahkan dalam suatu riwayat Allah niscaya akan meridhoi hambaNya yang selalu bersyukur atas setiap nikmatNya.
إنَّ اللَّهَ ليَرضى مِن العبدِ أن يأكُلَ الأَكلَةَ فيحمَدَهُ عليها ويشرَبَ الشَّربَةَ فيحمَدَهُ علَيها.
“Sesungguhnya Allah niscaya meridhoi Hambanya yang ketika dia memakan suatu makanan kemudian dia memujiNya dan meminum suatu minuman kemudian dia memujiNya pula.”
Perihal agungnya sifat syukur seorang hamba kepada Rabbnya, kita dapat melihat bagaimana gambaran kehidupan sehari-hari Rasulullah SAW, sosok yang telah dijanjikan surga oleh Allah SWT dan ampunan atas setiap kesalahannya dari masa lampau maupun akan datang, akan tetapi beliau tetap mengerjakan ibadah sunnahnya hingga akhir hayatnya, dalam suatu hadits dikatakan bahwa,
عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- صَلَّى حَتَّى انْتَفَخَتْ قَدَمَاهُ فَقِيلَ لَهُ أَتَكَلَّفُ هَذَا وَقَدْ غَفَرَ اللَّهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ فَقَالَ « أَفَلاَ أَكُونُ عَبْدًا شَكُورًا ». رواه مسلم.
Dari Mughirah bin Syu’bah, bahwasannya Nabi saw. melaksanakan shalat hingga kedua mata kakinya bengkak. Lalu dikatakan kepadanya, “Mengapa engkau membebani dirimu, padahal Allah telah mengampuni dosamu yang lalu dan yang akan datang?” Beliau menjawab, “Bukankah seharusnya aku menjadi hamba yang banyak bersyukur?.” (HR. Muslim).
Sikap syukur menurut imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah dalam Madarijus Salikin, hakikat syukur adalah terwujudnya pengaruh dari nikmat Allah pada lisan seorang hamba berupa pujian kepada Allah dan pengakuan, serta pada hatinya yang menampakkan kesaksian dan kecintaan, dan pada anggota tubuhnya yang berwujud ketundukan dan ketaatan kepada Allah.
Pada keterangan dalil-dalil diatas banyak pelajaran yang dapat kita ambil, bahwa rasa syukur memiliki nilai begitu tinggi dihadapan Allah SWT sehingga Rasulullah pun membuktikannya dengan banyaknya amalan ibadah yang beliau amalkan dan beliau contohkan kepada kita semua. Dan sikap syukur tidak hanya diimplementasikan pada hal-hal yang bersifat material saja melainkan pada setiap anugrah yang Allah berikan kepada kita, baik yang kita sadari maupun kita luput akan hal tersebut.
Penulis : Ustadz A. Muslim Nurdin, S.Pd (Mudir Pesantren MAQI)