Fiqih

Thaharah dan Air (2)

FIQIH

Permasalahan Seputar Toharoh & Air

            Part 2

Pada pembahasan kali ini kita akan melanjutkan terkait permasalahan seputar toharoh dan air. Pembahasan ini diambil dari kitab fiqih al muyassar cetakan ke 2 karangan Ulama fiqih Lembaga Malik Fahd.

  1. Air Thohur tidak tercampur zat yang Thohir

Air Thohur sebagaimana yang dijelaskan pada pembahasan sebelumnya yaitu air yang suci dan mensucikan sedangkan yang disebut Thohir merupakan suatu yang suci namun tidak menyucikan sehingga tidak bisa dipakai untuk bersuci, Seperti air kopi, air susu ataupun zat – zat yang thohir seperti dedaunan, pepohonan dan lain sebagainya. Maka dalam hal ini para ulama sepakat bolehnya menggunakan air tersebut walaupun sudah tercampur dengan zat yang thohir berdasarkan Qs. An-Nissa Ayat 43 yang menyebutkan Lafadz ”مَّاءً” yang menunjukan nakiroh atau sesuatu yang umum artinya berlaku terhadap semua  jenis air baik yang tercampur ataupun tidak.

  1. Hukum menggunakan air musta’mal untuk bersuci

Air musta’mal adalah air bekas yang digunakan ketika mandi ataupun berwudhu, maka air tersebut dinyatakan boleh digunakan untuk bersuci selama tidak berubah salah satu sifatnya karena tercampur najis seperti bau, warna dan rasanya. Salah satu dalil yang menunjukan bolehnya hal tersebut adalah HR. Bukhori

إِذا توضَّأ النّبيّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –، كادوا يقتتلون على وَضوئه

“Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu, mereka (para sahabat) hampir-hampir saling membunuh (karena memperebutkan) bekas wudhu beliau” (HR. Al Bukhari 189).

Para sahabat ber-tabarruk dengan air bekas wudhu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Jika air musta’mal najis, maka tentu tidak akan diperebutkan oleh para sahabat dan akan dilarang oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.

  1. Menggunakan sisa air dalam bejana manusia dan hewan

Menggunakan air sisa minum manusia adalah boleh karena manusia itu suci maka sisanya pun suci sama saja keadaannya muslim atau kafir yang junub ataupun haid.

Sedangkan menggunakan air sisa hewan para Ulama berpendapat bolehnya menggunakan sisa air hewan yang dagingnya biasa dimakan, sedangkan untuk hewan yang tidak dimakan dagingnya boleh menggunakan air tersebut karena tidak memberikan bekas terhadap air apalagi ketika airnya banyak. Tetapi jika membekas karena airnya sedikit maka berubah menjadi najis. Salah satu dalilnya adalah :

إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ إِنَّمَا هِيَ مِنْ الطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ أَوْ الطَّوَّافَاتِ

” Kucing tidak najis. Ia merupakan hewan yang biasa berkeliaran di sekelilingmu.” (HR. Tirmidzi 85)

Adapun untuk sisa air  anjing dan babi maka itu najis

طَهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ

“Sucinya bejana kalian apabila dijilat anjing adalah dengan mencucinya tujuh kali dan yang pertama kali dengan tanah.” (HR. Muslim 420)

Sedangkan babi maka dia itu najis, kotor dan jorok.

Allah swt berfirman :

أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ

“Atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor.” (Qs. Al-An’am 145)

Penulis: Ustadz Fairuz Faatin (Staff Pengajar Pesantren MAQI)

Facebook Comments

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.