Tsaqafah

Menjawab Tantangan di Dunia Pendidikan Islam

Gelombang Postmodernisme yang digerakkan oleh para pendukung faham liberalisme ini secara diam-diam telah masuk kedalam ranah Pendidikan Islam. Berbagai strategi banyak dilakuakan, misalnya, pendidikan agama dituduh telah gagal. Gagal bukan dalam arti tidak menghasilkan lulusan yang berkualitas, namun gagal menghasilkan manusia yang dapat menjadi anggota masyarakat sipil (civil society). Masyarakat sipil adalah masyarakat yang memegang nilai-nilai plularisme, demokratisasi, equality, kesetaraan gender dan berkarakter. Itu semua merupakan program dalam gerakan liberalisme yang telah menjadi pandangan hidup, yang berasal dari sistem ideologi Barat, yang selalu berhadapan dengan Islam. Nilai-nilai liberal Barat akan selalu menjadi ancaman bagi masyarakat Islam.Gelombang Postmodernisme dan Hellenisme yang melanda dunia, kini telah terasa dalam berbagai bidang kehidupan. Gelombang ini ditunggangi oleh gerakan liberalisme dalam setiap bidang. Kandungan Postmodernisme dan Hellenisme ini memilki perbedaan, yang menjadi karakter utama postmo diantaranya adalah semangat dalam menyebarkan faham plularisme, menerapkan sikap demokratis dalam segala bidang, meletakkan fundamentalisme religius sebagai musuh bersama serta melakukan dekonstruksi dengan cara mengkritisi masa lalu. (Akbar S. Ahmed, Postmodernisme and Islam, Routledge, London, 1992).

Dalam buku The End of History and The Last Man, Fukuyama menganggap Islam sejajar dengan ideologi Liberalisme dan Komunisme. Fukuyama memprediksi bahwa Islam akan lebih lemah dalam menghadapi liberalisme. Sebab liberalisme telah memukau banyak pengikut Islam yang kuat. (Francis Fukuyama, The End of History and The Last Man, Avon Book, New York, 1992).

Apa yanng dinyatakan Fukuyama tersebut rupanya terjadi di republik yang kita cintai ini. Kini, upaya untuk merekonstruksi kurikulum Pendidikan Islam dengan berbagai macam pendekatan telah dilakukan, bahkan oleh umat muslim sendiri. Diantaranya adalah kurikulum berbasis multikulturalisme, kurikulum berbasis kesetaraan gender, kurikulum pendidikan berkarakter, dan lain sebagainya. Semua itu merupakan respon affimatif terhadap ide-ide dari gelombang postmodernisme.

Mari kita tafakuri, misalnya ketika gencar pendidikan berkarakter yang diterapkan di Indonesia, ternyata konsep ini dari Barat, yang mana konsepnya sangat berbeda dengan konsep pendidikan akhlaq yang ada dalam Islam. Sesungguhnya jika konsepnya sejalan dengan pendidikan akhlaq yang ada dalam Islam, maka itu tidak akan menjadi bagian akar permasalahannya.

Dari pengertian karakternya saja sudah dapat di identifikasi tidak adanya aspek kualitas kesalehan atau ketinggian akhlaq. Karakter hanya difahami sebagai kombinasi dari kualitas-kualitas yang membedakan seseorang atau kelas seseorang; pertanda sifat-sifat kolektif yang dimiliki oleh seseorang, kelompok, atau ras; kepribadian yang merupakan produk dari alam dan lingkungan, dan kekuatan moral (The New International Webster’s Comprehensive Dictionary of English Language).

Pada umumnya para ilmuwan Barat berbicara pendidikan karakter (character education) dalam konteks tiga landasan teori yaitu: kognitif, domain psikologi, dan domain sosial. Ketiga landasan teori menentukan bagaimana pendekatan yang harus digunakan untuk mengembangkan pendidikan karakter. Kemudian dari pendekatan landasan teori kognitif dimaknailah “Pendidikan Moral” (moral education) yang difahami sebagai kesadaran, bukan perilaku. Yang mana kesadaran moral alami diharapkan dapat mengontrol perilaku. Namun perilaku apa saja yang dapat dikontrol dalam pendidikan karakter ini. Konsekuensinya, yang dihasilkan dari pengertian ini, juga teori yang lainnya dalam pendidikan karakter adalah dimungkinkannya orang atheis masuk dalam kriteria manusia berkarakter meskipun anti- Tuhan dan anti-Agama.

Alhasil, para ilmuwan Barat tidak dapat mencapai kesepakatan tentang tujuan pendidikan karakter. Sebab masih ada yang hanya menekankan pada keharmonisan komunitas dan ada pula yang mengutamakan pada perkembangan jiwa tiap-tiap individu walau itu berkonsekuensi pada relativitas nilai.

Di sini sikap yang tepat diperlukan dari seorang muslim ialah bukan menjustifikasi pendidikan karakter, namun menyuguhkan konsep  tandingan yang berasal dari konsep-konsep kunci dalam Islam yang lebih komprehensif, yang telah diungkapkan oleh para ulama. Beberapa ulama yang masyhur dalam dunia pendidikan antara lain Ibn Sina, al-Ghazali, dan Ibn Khaldun, mengemukakan konsep yang berisi pendidikan akhlaq.

Ibn Sina misalnya, pada Kitab al-Qanun fi al-Tibb (Prinsip-prinsip Kedokteran) dalam menjelaskan teknis kedokteran sangat menekankan pembinaan akhlaq. (Abuddin Nata, Konsep pendidikan Ibn Sina, Jakarta, 2005). Bagi Ibn Sina, tujuan pendidikan adalah untuk menggapai ridha Allah (“education is directed toward Allah”), keuntungan materi tidak memiliki nilai apalagi dijadikan tujuan. Derajat tertinggi keilmuan seseorang hanya bisa dicapai ketika Allah telah menganugerahkan akal suci (“Divine Spirit”) yang dengannya dia bisa memahami ilmu dengan mudah. (Fatemah Zibakalam Mofrad, Ibn Sina’s Philosophy of Education and Its Application to Modern Muslim Educational System, 66). Untuk mencapainya, pendidikan harus dimulai dari pelajaran tentang dasar-dasar agama. Ibn Sina percaya akan pentingnya pembinaan akal, fisik, dan karakter sebagai kesatuan sistem yang tidak boleh dipisahkan. Akal adalah media untuk memahami agama, menguasai ilmu, dan mengontrol perilaku.

Tidak jauh dari pandangan Ibn Sina, al-Ghazaly mencanangkan pendidikan akhlaq (character) dengan pensucian jiwa untuk mendapatkan cinta Allah.  (Fathiyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan al-Ghazaly, Jakarta, 1986). Akhlak mulia merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.

Begitupun dengan Ibn Khaldun yang menyatakan bahwa pendidikan itu harus berangkat dari pandangan bahwa Allah menciptakan persepsi yang bermanfaat bagi manusia untuk berpikir dan memperoleh pengetahuan ilmiah.   Ilmu agamalah yang mengarahkan manusia kepada akhlaq mulia. Ketaatan kepada Allah merupakan wujud dalam perilaku berakhlaq mulia yang sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad saw, adalah kunci terbukanya tabir ilmu yang hakiki. (Ibn Khaldun, Muqaddimah, Pustaka Firdaus, jakarta, 2008).

Problema lain dari gelombang Postmodernisme yang masuk kedalam wacana Pendidikan Islam adalah faham kesetaraan gender, plularisme yang salah kaprah tentang agama, yang kemudian disebut berbasis multikulturalisme.

Tantangan Pendidikan Islam begitu kompleks. Islam bukan tidak memiliki konsep dengan langkah kuratifnya, sejatinya tawaran pendidikan dari Barat tersebut dapat dipenuhi oleh pendidikan akhlaq dalam Islam. Jawaban dari setiap tawaran haruslah relevan dengan konsep Islam yang rahmatan li ’al-Alamin. Telaah terhadap pelbagai problema yang telah disebutkan diatas hanyalah sekelumit persoalan dalam dunia Pendidikan Islam.

Penulis : Ustadz M. Fadlani Salam, S.Pd.I, M.MPd (Staff Pengajar Pesantren MAQI)

 

Facebook Comments

Pesantren MAQI

Lembaga Bahasa Arab dan Studi Islam

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.