Cinta dalam Pandangan Islam (1)
Islam merupakan agama yang sempurna. Karena hanyalah islam yang menyentuh seluruh aspek permasalahan hidup di dunia maupun di akhirat. Dari bangun sampai tidur kembali, tak ada yang tak di bahas, baik urusan lahir maupun batin.
Diantaranya, islam membahas permasalahan seputar hati. Dan sudah diketahui bersama bahwa hati disini adalah tempat bersemayamnya segala perasaan manusia, baik itu senang, sedih, duka, bahagia dan yang lainnya. Dan diantara banyaknya pembahasan seputar hati, penulis hanya akan mengambil satu pembahasan, yaitu cinta.
Cinta memang sampai sekarang tidak memilik definisi yang disepakati seluruh manusia dan memang tak memerlukannya. Seperti yang dituliskan oleh Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dalam Syarah Al-Arba’in An-Nawawiyah, “Cinta tidak memerlukan penjelasan, karena penjelasan tentangnya hanya menambah ketidakjelasan dan kesamaran.”
Jadi, yang ingin penulis bahas adalah bagaimana islam memandang cinta supaya perasaan yang murni itu tak ternoda oleh kebusukan hawa nafsu dan bisik rayu setan. Dan alhamdulillah, pembahasan tentang itu sudah dibahas oleh seorang ulama besar, yaitu Syaikh Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam bukunya Raudhatul-Muhibbin wa Nuzhatul-Mustaqin (taman orang jatuh cinta dan tamasya orang yang terbakar rindu-pen ) dan disini penulis hanya akan menuangkan apa yang ada di buku itu dalam tulisan ini.
Perbahasan pertama, apakah cinta itu takdir ataukah pilihan? Ibnu Hazm mengatakan, “Seorang laki-laki berkata kepada Umar r.a, ‘Wahai Amirul Mu’minin, aku pernah melihat seorang wanita kemudian aku jatuh cinta kepadanya.’ Umar r.a menjawab, ‘Itu berada di luar kekuasaan manusia.’ “
Namun ada yang lain mengatakan, “Yang dimaksud dengan cinta karena pilihan adalah cinta yang mengikuti hawa nafsu dan keinginannya. Hawa nafsu yang jika sanggup menahannya, Allah Swt. memberikan pujian kepadanya, sebagaiman disebutkan dalam Al-Qur’an yang terjemahnya, “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya, dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah yang menjadi tempat kembalinya.”(Q.S an-Nazia’at:40-41).
Mereka juga mengatakan, “Allah Swt. mencela orang-orang yang mabuk dilanda cinta yaitu orang-orang yang mencintai selain-Nya sebagai tandingan cinta-Nya. Seandainya cinta yang seperti itu merupakan hal yang bersifat ketetapan yang pasti, maka tidak mungkin Allah Swt. mencelanya.”
Untuk menggabungkan dua pendapat yang bertolak belakang itu, dapat kita katakan bahwa awal pemicu munculnya cinta dari seseorang kepada orang lain meruapakan hal yang yang bersifat pilihan dan yang terjadi kemudian adalah sesuatu yang tidak bersifat pilihan lagi karena itu diluar batas kesanggupan manusia. Seperti orang yang mabuk karena minuman berakohol, saat meminumnya adalah pilihannya sendiri dan yang terjadi setelahmya bukan sebuah pilihan lagi tapi sebuah kepastian, yaitu mabuk.
Maka seseorang tentu akan dicela saat dia mengumbar pandangannya pada orang yang bukan mahramnya dan apabila setelah itu dia menjadi jatuh cinta maka cintanya pun menjadi tercela karena disebabkan oleh sesuatu yang tercela pula. Dan sebaliknya, bila cinta itu tumbuh dari sebab yang baik dan terpuji seperti yang diajarkan islam, maka terpuji juga perasaan cintanya dan tak ada cela pun padanya bila ia mampu mengaplikasikan perasaanya dengan benar menurut tuntunan syari’at. Wallahu a’lam.
Oleh: Ustadz Muhamad Ramdani