Hadis Ilmu Pengetahuan
Redaksi Hadis
حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ سُلَيْمَانَ حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ شِنْظِيرٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَوَاضِعُ الْعِلْمِ عِنْدَ غَيْرِ أَهْلِهِ كَمُقَلِّدِ الْخَنَازِيرِ الْجَوْهَرَ وَاللُّؤْلُؤَ وَالذَّهَبَ[1]
Telah menceritakan kepada kami [Hisyam bin Ammar] berkata, telah menceritakan kepada kami [Hafsh bin Sulaiman] berkata, telah menceritakan kepada kami [Katsir bin Syinzhir] dari [Muhammad bin Sirin] dari [Anas bin Malik] ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim. Dan orang yang meletakkan ilmu bukan pada pada ahlinya, seperti seorang yang mengalungkan permata, mutiara, dan emas ke leher babi.”[2]
Terjemah Mufrodat
طَلَب : penuntutan, permohonan, pengakuan, pemanggilan, harapan, pesanan, pencarian, penyelidikan, pesanan, permintaan, aplikasi, petisi, mosi, lamaran
عِلْم : pengetahuan, ilmu
فَرِيضَةٌ : kewajiban
عَلَى : atas
كُلِّ : tiap-tiap, pada setiap, sekali ketika
مُسْلِمٍ : muslim, orang Islam, seorang yang menyerahkan diri
وَاضِعُ : yang meletakan
عِنْدَ : pada, oleh, dekat, di, dengan, manakala, pada ketika, sebagai
غَيْرِ : selain dari, yang lain, tidak sama dengan, tanpa, bukan
أَهْلٌ : keluarga, famili, rumah tangga, penduduk, warga, pantas, layak
مُقَلِّدِ : yang ditiru, dipalsu, dilupakan, imitasi, tiruan, gadungan, bohong, palsu
خَنَازِيرِ : babi, babi liar
جَوْهَرَ : esensi, alami, hakiki, intisari, inti, permata
لُّؤْلُؤَ : mutiara
ذَّهَبَ : emas[3]
Syarah Turotsi
- Menurut Imam Al-Ghazali, mencari dan menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi seorang muslim baik laki-laki maupun perempuan. Rasululullah SAW., menjadikan kegiatan menuntut ilmu dan pengetahuan yang dibutuhkan oleh kaum Muslimin untuk menegakkan urusan-urusan agamanya, sebagai kewajiban yang Fardlu ‘Ain bagi setiap Muslim. Ilmu yang Fardlu Ain yaitu ilmu yang setiap orang yang sudah berumur aqil baligh wajib mengamalkannya yang mencakup; ilmu aqidah, mengerjakan perintah Allah, dan meninggalkan laranganNya.
Ilmu dalam pengertian yang seluas-luasnya menurut Imam al-Ghazali mencakup, ilmu Syar‘iyyah dan ilmu Ghairu Syar‘iyyah. Ilmu Syar‘iyyah adalah ilmu yang berasal dari para Nabi dan wajib dutuntut dan dipelajari oleh setiap Muslim. Di luar ilmu-ilmu yang bersumber dari para Nabi tersebut, al-Ghazali mengelompokkan ke dalam kategori ghairu syar‘iyyah.[4]
Imam al-Ghazali juga mengklasifikasikan Ilmu dalam dua kelompok yaitu: (1) Ilmu Fardu A’in, dan (2) Ilmu Fardu Kifayah. Ilmu Fardu A’in adalah ilmu tentang cara amal perbuatan sesuai syari’at, dengan segala cabangnya, seperti yang tercakup dalam rukun Islam. Sedangkan Ilmu Fardu Kifayah ialah tiap-tiap ilmu yang tidak dapat dikesampingkan dalam menegakan urusan duniawi, yang mencakup : ilmu kedokteran, ilmu berhitung untuk jual beli, ilmu pertanian, ilmu politik, bahkan ilmu menjahit, yang pada dasarnya ilmu-ilmu yang dapat membantu dan penting bagi usaha untuk menegakan urusan dunia.[5]
Adapun ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan oleh kaum Muslimin dalam kehidupan mereka termasuk Fardlu Kifayah. Artinya seluruh kaum Muslimin akan berdosa jika tidak ada seorang pun di antara mereka yang menekuni suatu jenis ilmu, padahal mereka membutuhkannya. Mereka tidak terbebas dari dosa, sehingga ada salah satu di antara mereka memenuhi kewajiban itu. Dari hadits di atas inilah al-Ghazali mengangkat suatu hukum bagi setiap muslim untuk menuntut ilmu. Kata farîdhatun diberinya makna yang lebih luas dan sangat sesuai dengan fitrah manusia yang beranenaka ragam tingkat kemampuannya itu sebagaimana al-Ghazali sendiri mengakui akan terbatasnya daya tangkap, panca indra dan daya serap akal manusia, bukan para filosof yang seolah-olah memaksakan manusia dengan banyak memberikan porsi dan peran terhadap akal manusia. Oleh karena itu para filosof muslim sanggup menerapkan kata farîdhatun dengan makna kewajiban yang mutlak dilakukan dari sikap itu akan muncul permasalahan yang pelik dan rumit sekali: “Akan berdosalah orang-orang yang tidak mempunyai kemampuan yang bermacam-macam jumlahnya itu”.
- Zarnuji dalam kitabnya menjelaskan bahwa bukan semua ilmu yang wajib dituntut oleh seorang muslim, tetapi yang wajib baginya adalah menuntut ilmu hal (ilmu yang menyangkut kewajiban sehari-hari sebagai muslim, seperti ilmu tauhid, akhlak dan fikih) dan lain sebagainya. Wajib pula bagi muslim mempelajari ilmu yang menjadi prasyarat untuk menunaikan sesuatu yang menjadi kewajibannya. Dengan demikian wajib baginya mempelajari ilmu mengenai jual beli bila berdagang. Wajib pula mempelajari ilmu yang berhubungan dengan orang lain dan berbagai pekerjaan. Kemudian setiap muslim wajib mempelajari ilmu yang berkaitan dengan hati, seperti tawakkal (pasrah kepada Allah), inabah (kembali kepala Allah), khauf (takut kepada murka Allah). dan rida (rela atas apa yang ditakdirkan Allah atas dirinya).
Perlu di garisbawahi bahwa dalam pembagian ilmu, Zarnuji membagi ilmu pengetahuan kepada empat kategori.[6]
Pertama, ilmu fardhu `ain, yaitu ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap muslim secara individual. Adapun kewajiban menuntut ilmu yang pertama kali harus dilaksanakan adalah mempelajari ilmu tauhid, yaitu ilmu yang menerangkan keesaan Allah beserta sifat-sifat-Nya. Baru kemudian mempelajari ilmu-ilmu lainnya, seperti fiqih, shalat, zakat, haji dan lain sebagainya yang kesemuannya berkaitan dengan tatacara beribadah kepada Allah.
Kedua, ilmu fardhu kifayah, ilmu yang kebutuhannya hanya dalam saat-saat tertentu saja seperti ilmu shalat jenazah. Dengan demikian, seandainya ada sebagian penduduk kampung telah melaksanakan fardhu kifayah tersebut, maka gugurlah kewajiban bagi yang lainnya. Tetapi, bilamana seluruh penduduk kampung tersebut tidak melaksanakannya, maka seluruh penduduk kampung itu menanggung dosa. Dengan kata lain, ilmu fardhu kifayah adalah ilmu di mana setiap umat Islam sebagai suatu komunitas diharuskan menguasainya, seperti ilmu pengobatan, ilmu astronomi, dan lain sebagainya.
Ketiga, ilmu haram, yaitu ilmu yang haram untuk dipelajari seperti ilmu nujum. Sebab, hal itu sesungguhnya tiada bermanfaat dan justru membawa marabahaya, karena lari dari kenyataan takdir Allah tidak akan mungkin terjadi.
Keempat, lmu jawaz, yaitu ilmu yang hukum mempelajarinya boleh karena bermanfaat bagi manusia. Misalnya ilmu kedokteran, yang dengan mempelajarinya akan diketahui sebab dari segala sebab (sumber penyakit). Hal ini diperbolehkan karena Rasullah Saw. juga memperbolehkan.
Dalam kitabnya Zarnuji menyebutkan keutamaan ilmu hanya karena ia menjadi wasilah (pengantar) menuju ketakwaan yang menyebabkan seseorang berhak mendapat kemuliaan di sisi Allah SWT. dan kebahagiaan yang abadi. Dengan ilmu, Allah memberikan kemuliaan kepada Nabi Adam as. atas para malaikat dan Allah menyuruh mereka sujud kepada Adam, mereka sujud kecuali Iblis yang angkuh.
Hadist tersebut merupakan penjelasan tentang hukum mencari ilmu bagi setiap orang Islam laki laki maupun perempuan, yang telah diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dan lain lain. Akan tetapi hadist tersebut diberi tanda lemah oleh imam Syuyuti. Adapun hukum menuntut ilmu menurut hadist tersebut adalah wajib. Karena melihat betapa pentingnya ilmu dalam kehidupan dunia maupun akhirat. Manusia tidak akan bisa menjalani kehidupan ini tanpa mempunyai ilmu. Bahkan dalam kitab taklimul muta’allim dijelaskan bahwa yang menjadikan manusia memiliki kelebihan diantara makhluk-makhluk Allah yang lain adalah karena manusia memilki ilmu. Dan janganlah memberikan ilmu kepada orang yang enggan menerimanya, karena orang yang enggan menerima ilmu tidak akan mau untuk mengamalkan ilmu itu bahkan mereka akan menertawakannya.
Al-Manâwi menjelaskan mengenai makna Hadis ini bahwa sebelum menuntut ilmu harus ada persiapannya. Cara menuntut ilmu harus selangkah demi selangkah dan bertahap. Tidak bisa mengajarkan ilmu kepada seorang yang belum siap menerimanya misalnya, mengajarkan ilmu yang sulit-sulit difahami sementara dasar-dasarnya belum diajarkan. Jika seorang guru melakukan hal ini menyampaikan ilmu bukan kepada ahlinya atau orang yang sudah siap menerimanya maka sesungguhnya ia telah bersikap lalim kepadanya. Perumpamaan kelaliman di sini seperti mengalungkan hewan yang paling hina dengan permata yang paling mulia. (Al-Manawi, : 227)
Al-Baihaqi menjelaskan mengenai hadis ini dalam kitab al-Madkhali bahwasanya Allah swt berkehendak mengajarkan ilmu yang tidak boleh tidak diketahui oleh setiap hamba yang baligh dan berakal atau ilmu yang dia butuhkan yang berkenaan dengan kewajibannya sebagai hamba Allah swt atau ilmu ini wajib dipelajarinya sehingga cukup baginya untuk menjalankan kewajibannya. Ibnu Mubârak menjelaskan makna dari hadis ini bahwa ketika seorang dihadapkan dengan masalah-masalah agama ia mesti mengetahuinya dan bertanya tentangnya. Sedangkan al-Baiᶁâwi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah ilmu yang mesti bagi hamba seperti mengetahui Maha Pencipta, ilmu mengenai keesaan Allah, ilmu mengenai kerasulan Muhammad saw, ilmu mengenai tata cara shalat karena mempelajari semua ini adalah farᶁu `ain.
An-Nawawi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah ilmu yang jika si hamba tidak mengetahuinya maka dia tidak dapat dimaafkan atau tidak ada alasan baginya untuk tidak mengetahuinya. Abu Hafş as-Suhrawardi menjelaskan bahwa ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu mengenai ikhlas yang diperintahkan Allah swt juga ilmu mengenai syahwat-syahwat nafsu yang merusak bangunan keikhlasan yang juga diperintahkan untuk mempelajarinya maka ilmu mengenai ini wajib a
in. Begitu juga ilmu mengenai bisikan- bisikan hati dan rinciannya yang dengannya dapat dibedakan mana ilham dari malaikat dan mana bisikan setan. Begitu jua ilmu yang berkenaan dengan halal dimana memakan yang halal adalah wajib begitu juga ilmu jua beli, nikah, cerai jika ia ingin menikah. Begitu juga ilmu berkenaan lima hal yang farᶁu yang menjadi pondasi dasar Islam. Begitu jua menuntut ilmu tauhid dengan dalil akal dan naqli. Begitu jua ilmu batin yang menambahkan keyakinan bagi hamba diperoleh dengan banyak bergaul dengan orang saleh, orang yang zuhud, orang-orang yang dekat dengan Allah swt. Merekalah yang menjadi pewaris ilmu para nabi.
Adapun yang dimaksud dengan “bagi setiap muslim” adalah menuntut ilmu wajib bagi setiap hamba yang dibebani hukum sehingga anak bayi, orang gila tidak diwajibkan. Muslim di sini bermakna umum mencakup laki-laki dan wanita. As-Sakhâwi berkata dalam buku al-Maqâşid banyak pengarang buku melampirkan kata muslimah di belakang hadis ini namun tidak ada riwayat yang menjelaskan mengenai penggunaan lafal muslimah. At-Ţibbi menjelaskan bahwa setiap muslim memiliki persiapan yang berbeda untuk menerima ilmu, oleh sebab itu ilmu itu harus diberikan kepada orang yang memang sudah siap menerimanya. Jika tidak dilakukan seperti ini sama artinya dengan mengalungkan permata yang indah kepada hewan yang paling hina sebagai sindiran bagi perilaku ini. Dengan demikian wajiblah bagi setiap orang menuntut ilmu yang sesuai dengan kesiapannya dan sesuai dengan tingkatannya setelah ia menimba ilmu berkenaan dengan ilmu-ilmu umum yang fardhu baginya. Seorang alim juga hendaklah mengajarkan kepada murid ilmu yang memang sesuai untuk disampaikan kepadanya dengan mempertimbangkan kesiapannya dan kemampuannya. As-Suyŭţi menjelaskan bahwa Muhyiddin an-Nawawi ditanya mengenai hadis ini, beliau menjawab bahwa hadis ini adalah ᶁa`if sanadnya meskipun maknanya sahih. Namun muridnya Jamâluddin al-Mizzi menyatakan bahwa hadis ini diriwayatkan dari berbagai macam sanad sehingga sampai kepada tingkatan hasan bahkan ia berkata saya melihat adalah 50 sanad yang meriwayatkan mengenai hal ini. ( As-Suyuţi, : 20)
Abul Hasan al-Mubârakfuri juga menjaslakan bahwa setiap orang wajib menuntut ilmu yang cocok dengan kesiapannya dan cocok dengan tingkatannya setelah dia menimba ilmu-ilmu yang wajib baginya secara umum. Seorang `alim juga harus mengajarkan muridnya ilmu yang memang siap untuk diterimanya. ( al-Mubârakfuri, 1984: 322)
[1] Ibn Majah Abu Abdillah Muhammad ibn Yazid al-Qazwaini, Sunan Ibn Majah, cet .2
(Riyad: Darussalam, 2000), Jilid. I, h. 34
[2] Al-alamah Al-habib Ahmad bin zein al-habsy, Ar-Risalah al-Jamiah, Terj. Husain Nabil (Tangerang: Penerbit putera Bumi, 2015), hal. 23
[3] Diakses dari https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/ , pada tanggal 21 oktober 2021, pukul 21.45
[4] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Thusi, Imam Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin, (Bairut: Darul Kutub al-Ilmiyah, tt), Jilid I, hlm. 20. Lihat HM. Arifin, Ilmu Pendidikan
[5] Ibid., hlm. 21-22
[6] Esa Nurwahyuni Baharuddin, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), h. 53
Penulis: Paisal Ahmad Akbar (Web Administrator)