Thaharah dan Air
FIQIH
Permasalahan Seputar Toharoh & Air
Sebagai seorang muslim kita dituntut untuk beribadah kepada Allah SWT. Salah satunya adalah ibadah solat, namun tentu ada persyaratan-persyaratan yang mesti dipenuhi agar solat kita bisa diterima; salah satu diantara syarat tersebut adalah bersuci atau toharoh dari hadats besar maupun kecil.
Toharoh sendiri memiliki 2 makna;
- Toharoh Ma’nawiyah: yaitu mensucikan atau membersihkan hati dari perbuatan syirik dan maksiat, dan ini dipandang oleh ‘Ulama lebih utama dari pada menyucikan badan, karena bagaimana mungkin diterima amal ibadah kita jika masih ada kesyirikan dihati.
- Toharoh Hissiyah: ialah bersuci dari kotoran atau najis disebabkan faktor internal yaitu hadats (pembatal wudhu) seperti BAB & BAK, dan juga faktor eksternal misalkan dari kotoran atau najis yang terkena badan, pakaian atau tempat tinggal kita.
Secara bahasa toharoh memiliki arti bersih dan terhindar dari kotoran. Dan secara istilah toharoh berarti mengangkat hadats dan menghilangan kotoran. Perlu kita ketahui bahwa hadats itu terbagi menjadi 2, yaitu; hadats akbar dan hadats asghar. Hadats akbar adalah hadats yang mewajibkan kita mandi seperti karena ihtilam (mimpi basah), haid dan lain-lain, sedangkan hadts asghar cukup dihilangkan dengan berwudlu saja seperti karena buang angin dan kencing.
Berbicara tentang toharoh pasti erat kaitannya dengan air, sebagai alat penyuci dan pembersih. Sebagaimana firman Allah SWT:
وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِّنَ السَّمَاۤءِ مَاۤءً لِّيُطَهِّرَكُمْ بِهٖ
Dan Allah menurunkan air (hujan) dari langit kepadamu untuk menyucikan kamu dengan (hujan) itu …(QS. Al-Anfal: 11)
Oleh karena itu air apa saja yang bisa digunakan untuk bersuci? Berikut penjelasannya:
Para ‘Ulama sepakat bahwa air yang bisa digunakan untuk bersuci adalah “Al-Maau At-Tohur” atau air yang pada zatnya suci dan juga mensucikan, yaitu air yang tidak berubah dari asal mula penciptaannya atau sifat-sifatnya tetap, dalam artian belum tercampur apapun, bisa dalam keadaan turun dari langit, seperti; air hujan, es dan salju atau air yang mengalir seperti air sungai, air laut dan juga air yang keluar dari tanah seperti mata air dan air sumur. Nah semua jenis air ini boleh digunakan untuk bersuci dan menghilangkan hadats atau khobats (kotoran). Namun perlu diketahui juga bahwa air tohur itu bila tercampuri najis dan sampai mengubah warna, rasa atau baunya. Maka air tersebut tidak boleh digunakan untuk bersuci karena sudah berubah hukumnya menjadi “Maaun Najasun” atau air najis. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يُنَجِّسْهُ شَيْءٌ مَا لَمْ يَتَغَيَّرْ رِيحُهُ أَوْ طَعْمُهُ وَقَالُوا يَكُونُ نَحْوًا مِنْ خَمْسِ قِرَبٍ (رواه الترمذى)
Dari Ibnu Umar ia berkata, berkata; “Aku mendengar dari Rasulullah ﷺ bersabda, “Apabila air itu mencapai dua Qulah maka tidak ada sesuatu yang menjadikannya najis, yaitu selama tidak berubah bau atau rasanya, dan mereka mengatakan, “Kira-kira airnya sebanyak lima Qirbah (kendi).” (HR. Tirmidzi)
Para ‘Ulama dalam hal ini sepakat bahwa air sedikit ataukah banyak jika tercampur dengan najis lantas berubah salah satu sifatnya, seperti rasa, warna, atau bau, maka air tersebut dihukumi najis. Demikian kata Ibnul Mundzir sebagaimana dalam Al-Awsath,1:260.
Penulis: Ustadz Fairuz Faatin (Staff Pengajar Pesantren MAQI)