Fiqih

Bolehkah menggunakan air musta’mal untuk bersuci?

 

Sebelum membahas hukum menggunakan air musta’mal, perlu diketahui makna dari air musta’mal terlebih dahulu. Dalam hal ini para ‘Ulama Madzhab telah memberikan pengertian terkait air musta’mal. Diantaranya sebagai berikut:

  1. ‘Ulama Hanafiyah mengartikan air musta’mal sebagai air yang telah digunakan untuk membasahi tubuh, artinya air yang telah menetes dari tubuh kita. Hal ini memberikan kita pemahaman bahwa air yang tersisa di wadah ataupun bak tidak termasuk air musta’mal. Menurut madzhab tersebut air musta’mal hukumnya suci akan tetapi tidak mensucikan sehingga tidak boleh digunakan untuk berwudhu ataupun mandi hadast.
  2. Pandangan seerupa juga diutarakan ‘Ulama Malikiyah, bahwa air musta’mal air sisa atau air telah digunakan untuk mengangkat hadas baik wudhu ataupun mandi. ‘Ulama Malikiyah juga mengungkapkan bahwa hanya air yang menetes dari tubuh yang disebut air musta’mal. Sementara itu dari sisi hukum, penggunaan air musta’mal dinilai boleh karena dapat mensucikan, akan tetapi menjadi makruh jika air musta’mal tersebut tercampur dengan air yang belum digunakan.
  3. Sedikit berbeda dengan kedua ‘Ulama diatas, ‘Ulama Syafi’iyyah menyebutkan bahwa dikatakan air musta’mal jika air itu jumlahnya sedikit dan telah digunakan untuk mengangkat hadast yaitu dengan berwudhu atau mandi hadast.
  4. Menurut ulama Hanabilah, air musta’mal adalah air yang telah digunakan untuk bersuci dari hadas (kecil dan besar) atau menghilangkan Najis.

Singkatnya air musta’mal diartikan sebagai air yang sudah dipakai mandi, berwudhu atau dengan kata lain sudah menyentuh kulit dan digunakan untuk mengangkat hadast. Kemudian timbul pertanyaan; bolehkah menggunakan air musta’mal untuk bersuci?

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di juga menjelaskan dalam kitabnya yang berjudul Irsyad Ulil Bashair li Nailil Fiqhi, air musta’mal tidaklah najis dan dapat mensucikan jika tidak ada salah satu sifat air tersebut yang berubah, yaitu baunya, rasanya ataupun warnanya. Dan mesti diketahui yang menyebabkan perubahan tersebut adalah karena najis bukan yang lain. Mengutip salah satu hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Baihaqi, Nabi Muhammad SAW bersabda, “air itu tidak dinajisi sesuatu kecuali apabila berubah rasa, warna atau baunya karena najis yang tercampur ke dalamnya”.

Hadist lain yang menjadi acuan bagi kita terkait bolehnya menggunakan air musta’mal adalah beberapa sabda Nabi;

إِذَا تَوَضَّأَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كَادُوا يَقْتَتِلُوْنَ عَلَى وُضُوْئِهِ

Artinya: “Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu, mereka (para sahabat) hampir-hampir saling membunuh (karena memperebutkan) bekas wudhu beliau.” (HR. Bukhori)

إِغْتَسَلَ بَعْضُ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ جَفْنَةٍ فَجَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيَتَوَضَّأَ مِنْهَا أَوْ يَغْتَسِلَ فَقَالَتْ لَهُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنِّي كُنْتُ جُنُبًا فَقَالَ: إِنَّ الْمَاءَ لَا يَجْنُبُ

Artinya: “Salah seorang istri Nabi mandi disuatu bejana kayu besar, kemudian datang Nabi hendak mengambil wudhu atau hendak mandi, maka berkata istri Nabi itu: Ya Rasulallah! Sesunggunya saya berjunub. Nabi bersabda: Sesungguhnya air itu tidak berjunub.” (HR Ahmad adan Abu Dawud)

Dari hadist-hadist diatas salah seorang ‘Ulama Persatuan Islam yaitu A. Hasan menyimpulkan bahwa air yang terpakai itu boleh dipakai lagi meskipun untuk bersuci dan menghilangkan hadast, beliau juga menambahkan bahwa selain air itu tidak najis, air tersebut tidak juga disebut musta’mal. Artinya beliau hanya mengaggap bahwa air itu kalau tidak suci maka dia itu najis, baik najis karena dzatnya seperti air kencing ataupun najis karena air suci tersbut tercampur dengan salah satu jenis najis sehingga mengubah salah satu sifatnya, baik dari rasa, warna maupun baunya.

Wallahu ‘Alamu bishowab

 

Penulis : Ustadz Fairuuz Faatin (Pengajar Pesantren MAQI)

Facebook Comments

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.